Kamis, 05 Desember 2013

Hukum Telematika Internasional

Klarifikasi: suluruh bahan ini bersumber dari http://subehi-nurfajrin.blogspot.com/2010/10

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.

Di Indonesia, yang saya tahu kita punya yang namanya UU ITE, UU No. 11 tahun 2008, terdiri dari XIII bab dan 54 Pasal. Ini adalah undang-undang yang membahas tentang informasi dan transaksi elektronik.
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.
Terdapat Asas-asas dalam UU ini, dalam Pasal 3, Bab Asas dan Tujuan, maksudnya:
“Asas kepastian hukum” berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
“Asas manfaat” berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Asas kehati-hatian” berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Asas iktikad baik” berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
“Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi” berarti asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang.
The Council of Europe (CE) membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convention on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Isi Konvensi Palermo kaitannya tentang Hukum Internasional mengenai Cyber Crime.
Konvensi Palermo memutuskan kesepakatan pada pasal 1 bertujuan :
“Tujuan dari konvensi palermo adalah untuk meningkatkan kerjasama dengan semua negara di dunia untuk memerangi kejahatan transnasional yang terorganisir”.
Semakin jelas pahwa konvensi ini dibuat semakin merebaknya kejahatan trans nasional antara lain cyber crime yang sudah merambah ke semua dunia dan bersifat meresahkan.
Pasal 2 konvensi Palermo ayat C mengisayaratkan bahwa kejahatan ini merupakan kejahatan yang serius sehingga hukuman minimal 4 tahun atau lebih” .
Artinya bahwa ketentuannya pelaku kejahatan transnasional akan mendapat hukuman minimal 4 tahun penjara dalam konsensi ini.
Banyak sekali kejahatan transnasional maka yang disebut dengan hasil kejahatan adalah harta yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung melalui bentuk pelanggaran.” Jadi yang dimaksud adalah memiliki atau mengambil barang orang lain tanpa ijin atau melalui pelanggaran hukum.
Predikat palanggaran seperti dalam Pasal 2 ayat h adalah pelanggaran dari setiap hasil yang bisa menjadi subyek dari suatu pelanggaran, yang ditetapkan dalam pasal 6 konvensi ini. Dimana Pasal 6 ayat 1 berbunyi bahwa setiap negara harus mengadopsi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum domestik, antala legislatif dan langkah-langkah sebagai mungkin perlu menetapkan sebagai pelanggaran pidana.” Artinya setiap negara harus membuat hukum yang mengatur tentang penegakan Cyber Crime sebagai bukti keseriusan untu melaksanakan kaidah Konsensi Palermo, berupa UU no. 11 tahun 2008 tentan ITE. Konvensi ini digunakan untuk semakin terjaminnya keamananan Internasional dalam menghadapi kejahatan transnasional dalam kerjasama internasional.
Pasal 27 ayat 1 menerangkan bahwa ;“Pihak Negara-negara akan bekerjasama dengan erat satu sama lain sesuai dengan rumah tangga masing-masing sesuai hukum dan administrasi untuk meningkatkan efektifitas penegakan hukum untuk memerangi tindakan pelanggaran yang mencakup dalam konvensi tiap negara wajib mengadobsi langkah-langkah efektif tersebut.” Bentuk kerjasama dapat berupa organisasi artau konsensi dan atau merespon tiap informasi secara bersama-sama.
Implementasi dari konvensi ini adalah tertuang dalam pasal 34 ayat ;
1. Setiap negara harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan termasuk legislatif dan tindakan-tindakan administratif sesuai dengan prinsip-prinsip dah hukum domestik, untuk menjamin kewajiban dalam konvensi ini.
2. Pelanggaran yang sesuai dengan pasal 5.6, 8 dan 23 dalam pasal konvesi ini harus dibentuk dalam setiap negara untuk menghadapi kriminal yang mencakup wilayah transnaional baik pribadi maupun kelompok.
3. Setiap negara harus mengadobsi konvensi ini. Inilah yang mendasari dibuatnya sebuah hukum yang mengatur dalam mengatasi kejathatan transnasional dalam hal ini cyber crime.
Konvensi Cybercrime Budapest, 23.XI.2001 isinya merupakan kerjasama dengan negara lain pihak untuk Konvensi cyber Crime. Diyakinkan akan kebutuhan yang, seperti soal prioritas, pidana umum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap cybercrime, antara lain mengadopsi undang-undang yang sesuai dan mendorong kerjasama internasional. Sadar akan perubahan besar yang dibawa oleh digitalisation, konvergensi dan terus globalisasi komputer jaringan. Keprihatin dengan resiko bahwa komputer dan jaringan informasi elektronik dapat juga digunakan untuk melakukan pelanggaran pidana dan bukti-bukti yang berkaitan dengan pelanggaran seperti itu dapat disimpan dan dipindahkan oleh jaringan ini.
Mengakui perlunya kerjasama antara negara dan industri swasta dalam memerangi cybercrime dan kebutuhan untuk melindungi kepentingan sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi. Percaya bahwa kebutuhan yang efektif memerangi cybercrime meningkat, cepat dan berfungsi dengan baik kerjasama internasional dalam masalah pidana.
Aktivitas internet banking telah menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari. Data menunjukkan bahwa jasa internet banking telah ditawarkan oleh sekitar 40-an bank di Indonesia. Lingkup jasanyapun beragam, dari yang sekedar merupakan situs informasi bank, kemudian yang dapat menyediakan jasa transaksi sederhana, sampai dengan situs yang sepenuhnya dapat melayani semua bentuk transaksi, termasuk pengalihan dana, pembayaran tagihan, berlangganan atas produk-produk tertentu dan bahkan transaksi pembelian dan penjualan saham.
Praktek internet banking tersebut telah berlangsung tanpa didukung adanya aturan yang memadai, baik yang dikeluarkan oleh badan regulasi yang terkait seperti Bank Indonesia maupun oleh badan semacam ?self regulatory body?. Produk-produk hukum dari Bank Indonesia sendiri masih tidak memadai bagi penataan kegiatan internet banking.
Kekosongan hukum dalam praktek internet banking ini dapat menimbulkan implikasi hukum sebagai berikut :
1. Tidak adanya pedoman yang jelas dan tegas bagi bank yang menyediakan jasa internet banking;
2. Tidak adanya kejelasan mengenai hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan internet banking yang meliputi bank, nasabah dan pihak ketiga;
3. Setiap bank dengan leluasa dapat menetapkan aturan-aturannya sendiri kepada nasabahnya yang seringkali justru merugikan kepentingan nasabah;
4. Tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap ancaman dan pengelolaan atas data dan informasi pribadi nasabah;
5. Tidak adanya parameter yang jelas dan baku bagi pengawasan terhadap bank-bank yang menerapkan internet banking;
6. Terbukanya kemungkinan terjadinya tindak kriminal dengan menggunakan fasilitas internet banking.
Keadaan-keadaan di atas dapat menurunkan kepercayaan masyarakat dan nasabah terhadap aspek keamanan dalam memanfaatkan jasa internet banking, yang akhirnya dapat berujung kepada tidak berkembangnya internet banking di Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan suatu kerangka regulasi di bidang internet banking di Indonesia dengan memetik pelajaran dari inisiatip dan pengaturan yang sudah berlaku pada tataran internasional maupun yang bersumber pada inisiatip dan pengalaman negara-negara tertentu.
Kemajuan dan efisiensi pada jaringan komputer telah memungkinkan dilakukannya penimbunan informasi pribadi dalam suatu format komputer yang mudah dibaca dan diakses. Berkaitan dengan hal itu, industri perbankan merupakan salah satu sektor yang padat data (data intensive), karena berkaitan dengan berbagai pihak yang sangat luas cakupannya, tidak hanya individu, perusahaan swasta, namun juga badan-badan publik lainnya. Data tersebut beredar pada bank, kelompok bank dan bahkan diantara bank-bank yang berbeda.
Permasalahan yang kemudian timbul adalah, sejauh mana bank memiliki hak untuk melakukan diseminasi atas data tersebut? Sebaliknya, sejauh mana nasabah bank memiliki hak untuk mengendalikan atau mencegah informasi pribadinya disebarluaskan tidak atas kehendaknya atau tanpa persetujuannya? Dengan kata lain sejauh mana hak individu untuk menentukan sendiri, bilamana, bagaimana dan sejauh mana informasi tentangnya dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Informasi pribadi adalah penting dan merupakan suatu komoditas yang mempunyai nilai jual yang cukup tinggi. Artinya data pribadi merupakan aset (bagi siapapun), yang juga memiliki nilai komersial. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika kemudian terjadi penjualan informasi pribadi yang telah dikumpulkan dalam suatu database dengan jumlah informasi yang sangat besar. Perkembangan ini bahkan mengarah kepada dijadikannya data konsumen (consumer data) sebagai semacam currency dalam e-commerce. Tak ayal, perusahaan-perusahaan internet yang hampir bangkrutpun menawarkan data konsumen tersebut dengan harga yang cukup tinggi.
Bagi konsumen yang data pribadinya termasuk dijadikan komoditas, perkembangan di atas tentu saja menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan tertentu. Oleh karenanya diperlukan suatu kebijakan di bidang proteksi data (data protection) yang mampu menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dengan perlindungan HAM, yang dalam hal ini adalah perlindungan terhadap informasi pribadi (information privacy).
Untuk melindungi kepentingan masyarakat (konsumen) tersebut, maka diperlukan pengaturan mengenai perlindungan information privacy. Dari berbagai hasil riset di AS ditemukan bahwa sebagian besar (antara 78%-92%) konsumen menginginkan adanya peraturan mengenai perlindungan personal privacy dari kegiatan bisnis yang dapat mengancam privacy mereka tersebut.
Menanggapi keprihatinan konsumen akan perlunya perlindungan information privacynya, ada baiknya dilakukan penelusuran terhadap berbagai inisiatif internasional dalam mengembangkan prinsip-prinsip perlindungan data (data protection). Selama ini terdapat 3 (tiga) instrument internasional utama yang mengatur mengenai prinsip-prinsip perlindungan data, yaitu
The Council of European Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data
Dalam Konvensi ini dijabarkan prinsip-prinsip bagi data protection yang meliputi :
1. Data harus diperoleh secara fair dan sah menurut hukum (lawful);
2. Data disimpan untuk tujuan tertentu dan sah serta tidak digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan peruntukannya;
3. Penggunaan data secara layak, relevan dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan dari penyimpanan data tersebut;
4. Pengelolaan data secara akurat dan membuatnya tetap aktual;
5. Pemeliharaan data dalam suatu format yang memungkinkan identifikasi terhadap data subject untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang diperlukan untuk maksud penyimpanan data tersebut.

Kamis, 27 September 2012

PENTINGNYA SOCIAL RESEARCH CYBERLAW




Penelitian sosial terhadap dunia maya adalah hal yang patut dipertimbangkan untuk mendukung perkembangan hukum cyber(mayantara) Indonesia.

Kita bisa pergi ke toko buku, atau ke perpustakaan, atau ke penjual buku-buku bekas. Dari sana marilah kita mencoba mencari buku-buku tentang kajian hukum cyber karya anak bangsa, bukan terjemahan. Setelah semua kemungkinan terjelajahi untuk mendata sekian banyak daftar buku tentang cyberlaw yang dapat ditemukan secara eksplisit dalam konten buku-buku tersebut adalah: semuanya hanya berupa penulisan dengan memuat berbagai definisi. Definisi hacker, cracker, carder, spammer, atau definisi tentang hal-hal bersifat teknis, seperti hacking, stealing access, foot printing, dan lain sebagainya. Dan semua definisi itu adalah definisi yang diambil dari sumber lain. Begitulah kira-kira isi buku-buku kajian hukum cyber kita. Baik itu berangkat dari kajian hukum independen, dari pemerintah, berupa tulisan pribadi, maupun karya ilmiah. Hampir semuanya masih menyandarkan definisi-definisi yang terkadang buta. Misalkan tentang mempersepsi arti "hacker", ada beberapa buku dari beberapa guru besar hukum kita yang mengasumsikannya sebagai pelaku kejahatan dunia maya. Mereka tidak mendalami strata sosial dalam dunia maya, mereka tidak merasakan secara langsung bagaimana dunia maya itu berbentuk dan berkembang sampai saat ini dan kelak.

Jika para sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial lainnya tidak berusaha turut serta membangun pondasi hukum publik dan privat yang kuat dalam tataran dunia maya, maka akan selamanya kita meminjam definisi orang lain dan definisi yang seringkali usang. Maka dari sinilah titik tolak dimulainya kesadaran tentang urgensi pembangunan akar hukum cyber yang baik dan benar, sesuai eyd.

Disadari atau perlu dipaksa untuk menyadari, dunia maya dan dunia nyata sungguh berbeda. Konon di dunia nyata kita mencuri dan melakukan tindakan mengambil milik orang lain, dengan sengaja, dan maksud untuk memilikinya harus terlihat secara adegan fisik baik itu oleh pelaku utama atau memakai perantara, dengan kata lain langsung atau tak langsung, tetapi intinya tetap sama, "mengambil" ya kalo di kamus oxford diterjemahkan jadi: carry something or caused subject to go from one place to another. Definisi ini sudah kadaluarsa. Karena kini mencuri tidak selalu berarti mengambil dan menjadikan orang lain kehilangan, atau bahkan kalaupun kehilangan juga tidak lagi benda-benda yang melulu teraba dan berdimensi ruang. Mencuri kemudian bisa berarti menduplikasi dengan maksud mengambil secara tidak layak, yang dalam regulasi kadang diikuti dengan kata-kata 'merusak', atau 'menjadikan tidak dapat diakses', dan lain sebagainya.

Jika semua definisi tentang tindakan berubah, apakah selamanya akan memaksakan pemakaian konotasi lama tentang tindakan. Jika semua definisi lama yang butuh pembuktian kaku--misalkan soal rekonstruksi kejadian. jelas rumit untuk suatu tindak pidana cyber--, maka penegakan hukum juga akan menemui banyak celah yang sulit ditutup, bahkan bisa jadi hukum dan alat-alat penegakan hukumnya hanya akan melongo saat ada kejahatan baru, lantas mereka berkata, "ini kejahatan macam apa ya?"

Jika semua cara kejahatan berubah, saatnya melakukan perubahan secara radikal. Dan satu caranya adalah mulai lagi dari hal yang alami, natural dalam alam maya, sosiologis. Sosiolegal dalam hukum cyber masih kurang diminati untuk dijelajahi dan dieksplore. Salah satu faktornya adalah masih kurangnya pengetahuan dan kurangnya kapabilitas para calon peneliti untuk menyelami wilayah ini. Keraguan bisa jadi memunculkan semacam phobia untuk mengeksplore lebih jauh.

Secara sosial tidak semua aktifis cyber adalah orang-orang yang bisa dikonotasikan sebagai orang-orang yang mengalienasi terhadap dunia luar, mati rasa terhadap lingkungan sosial nyata dan sebagainya, seperti dituturkan beberapa literatur. Kenyataan di lapangan adalah, para aktifis maya ini, dengan mengamati perkembangannya adalah juga mereka yang sebagian besar berbagi (sharing) pengetahuan dan senantiasa bersosialisasi. Bahkan sebagian juga memiliki filosofi hidup sosial yang tinggi, karena tindakan dan sikap mereka di dunia maya bukan kegiatan sederhana, melainkan memerlukan kemampuan lebih. Dengan kata lain sebagian besar aktifisnya adalah mereka yang terpelajar.

Singkat kata singkat cerita. Penelitian sosiologis terhadap lingkungan dunia maya akan memberikan pemahaman dan ikatan hukum lebih baik, semakin banyaknya kajian sosiologis yang updateable maka intensitas keakuratan data akan selalu terjaga. Dan ini akan memberikan kesegaran jasmani dan rohani bagi hukum kita.

Dan semestinya para aktifis dunia maya juga tau, bahwa dengan hukum yang kuat, maka seluruh rakyat Indonesia akan semakin terlindungi hak-haknya, dan kesejahteraan  bersurfing akan lebih aman, nyaman, dan tenteram. Kita juga tau, saat bapak-ibu pejabat negara kita berbicara tidak nyambung tentang nasionalisme, di dunia maya nasionalisme dijalankan dengan lebih langsung, tidak terlalu bertele-tele.

Senin, 24 September 2012

“Buku Laporan Penelitian Pembuktian Transaksi Elektronik di Bidang Perbankan”


“Buku  Laporan  Penelitian
Pembuktian Transaksi Elektronik di Bidang Perbankan”


DAFTAR ISI 
BAB I :  PENDAHULUAN....
1.  Latar Balakang Permasalahan .............................  
2.  Rumusan Masalah ..............................................  
3.  Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................  
4.  Metode Penelitian...............................................  

BAB II  :  BENTUK DAN MACAM TRANSAKSI  
ELEKTRONIK PERBANKAN …
1.  Bentuk Transaksi Perbankan…
2.  Macam-macam Transaksi Perbankan.. 

BAB III  :  SAHNYA PERJANJIAN TRANSAKSI   ELEKTRONIK ....
1.  Pengertian Kontrak....
2.  Kontrak Elektronik ...
3.  Syarat-syarat sahnya Perjanjian Menurut KUH Perdata ..
4.  Waktu terjadinya Kontrak...
5.  Tanda tangan digital dalam kontrak elektronik....

BAB IV  :  DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT  
BUKTI DI PENGADILAN ....
1.  Alat-alat bukti dan Sistem Pembuktian ....
2.  Alat bukti elektronik...
3.  Alat bukti transaksi e-banking....

BAB V  :  HASIL PENELITIAN .....

BAB VI  :  PENUTUP .........
Kesimpulan .....
Saran ......
KEPUSTAKAAN....  

Rabu, 05 September 2012

Secure Electronic Transaction (SET)


Secure Electronic Transaction (SET) yang menggunakan kriptografis dalam pengamanannya adalah system perdagangan internet yang relative paling aman dari serangan-serangan yang mungkin dilakukan dalam internet, antara lain pembobolan kunci dan pencurian kunci dan merupakan hal mendasar yang dibutuhkan dalam transaksi perdagangan secara elektronik (E-commerce transaction) untuk memberikan jaringan keamanan dari setiap bentuk transaksi yang dilakukan dalam internet. Fungsi asuransi dalam transaksi perdagangan secara elektronik (E-commerce transaction) untuk menjamin keamanan dalam bertransaksi dan menghindari dari tindak kejahatan yang dilakukan melalui internet dan menggunakan system Secure Electronic Transaction (SET). Resiko dalam transaksi perdagangan secara elektronik (E-commerce transaction) paling besar ditanggung oleh konsumen karena dalam prakteknya konsumen hak-haknya sangat rawan untuk tidak dipenuhi atau dicurangi baik oleh penjual maupun oleh pihak lain. Resiko tersebut diantaranya terjadi penyalahgunaan terhadap kartu kredit milik konsumen.

Selasa, 04 September 2012

Ruang maya (cyberspace)


Ruang maya (cyberspace) dunia dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Untuk itu, internet harus diatur sepenuhnya oleh sistem hukum yang didasarkan atas norma-norma hukum yang baru pula yang dianggap sesuai dengan karakteristik yang melekat pada Internet Istilah ”cyberspace” untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh William Gibson seorang penulis fiksi ilmiah (science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilah yang sama kemudian diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light. Cyberspace-lah yang akan menjadi objek atau concern dari cyber law.

Senin, 03 September 2012

Dunia maya (cyberspace)


Dunia maya (cyberspace) media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara online (terhubung langsung). Dunia maya ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan komputer (sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, kontroler) yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh penjuru dunia secara interaktif. Kata "cyberspace" (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis novel fiksi ilmiah, William Gibson dalam buku ceritanya, "Burning Chrome", 1982 dan menjadi populer pada novel berikutnya, Neuromancer.