Penelitian sosial terhadap dunia maya adalah hal yang patut
dipertimbangkan untuk mendukung perkembangan hukum cyber(mayantara) Indonesia.
Kita bisa pergi ke toko buku, atau ke perpustakaan, atau ke penjual buku-buku bekas. Dari sana marilah kita mencoba mencari buku-buku tentang kajian hukum cyber karya anak bangsa, bukan terjemahan. Setelah semua kemungkinan terjelajahi untuk mendata sekian banyak daftar buku tentang cyberlaw yang dapat ditemukan secara eksplisit dalam konten buku-buku tersebut adalah: semuanya hanya berupa penulisan dengan memuat berbagai definisi. Definisi hacker, cracker, carder, spammer, atau definisi tentang hal-hal bersifat teknis, seperti hacking, stealing access, foot printing, dan lain sebagainya. Dan semua definisi itu adalah definisi yang diambil dari sumber lain. Begitulah kira-kira isi buku-buku kajian hukum cyber kita. Baik itu berangkat dari kajian hukum independen, dari pemerintah, berupa tulisan pribadi, maupun karya ilmiah. Hampir semuanya masih menyandarkan definisi-definisi yang terkadang buta. Misalkan tentang mempersepsi arti "hacker", ada beberapa buku dari beberapa guru besar hukum kita yang mengasumsikannya sebagai pelaku kejahatan dunia maya. Mereka tidak mendalami strata sosial dalam dunia maya, mereka tidak merasakan secara langsung bagaimana dunia maya itu berbentuk dan berkembang sampai saat ini dan kelak.
Jika para sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial lainnya tidak berusaha turut serta membangun pondasi hukum publik dan privat yang kuat dalam tataran dunia maya, maka akan selamanya kita meminjam definisi orang lain dan definisi yang seringkali usang. Maka dari sinilah titik tolak dimulainya kesadaran tentang urgensi pembangunan akar hukum cyber yang baik dan benar, sesuai eyd.
Disadari atau perlu dipaksa untuk menyadari, dunia maya dan dunia nyata sungguh berbeda. Konon di dunia nyata kita mencuri dan melakukan tindakan mengambil milik orang lain, dengan sengaja, dan maksud untuk memilikinya harus terlihat secara adegan fisik baik itu oleh pelaku utama atau memakai perantara, dengan kata lain langsung atau tak langsung, tetapi intinya tetap sama, "mengambil" ya kalo di kamus oxford diterjemahkan jadi: carry something or caused subject to go from one place to another. Definisi ini sudah kadaluarsa. Karena kini mencuri tidak selalu berarti mengambil dan menjadikan orang lain kehilangan, atau bahkan kalaupun kehilangan juga tidak lagi benda-benda yang melulu teraba dan berdimensi ruang. Mencuri kemudian bisa berarti menduplikasi dengan maksud mengambil secara tidak layak, yang dalam regulasi kadang diikuti dengan kata-kata 'merusak', atau 'menjadikan tidak dapat diakses', dan lain sebagainya.
Jika semua definisi tentang tindakan berubah, apakah selamanya akan memaksakan pemakaian konotasi lama tentang tindakan. Jika semua definisi lama yang butuh pembuktian kaku--misalkan soal rekonstruksi kejadian. jelas rumit untuk suatu tindak pidana cyber--, maka penegakan hukum juga akan menemui banyak celah yang sulit ditutup, bahkan bisa jadi hukum dan alat-alat penegakan hukumnya hanya akan melongo saat ada kejahatan baru, lantas mereka berkata, "ini kejahatan macam apa ya?"
Jika semua cara kejahatan berubah, saatnya melakukan perubahan secara radikal. Dan satu caranya adalah mulai lagi dari hal yang alami, natural dalam alam maya, sosiologis. Sosiolegal dalam hukum cyber masih kurang diminati untuk dijelajahi dan dieksplore. Salah satu faktornya adalah masih kurangnya pengetahuan dan kurangnya kapabilitas para calon peneliti untuk menyelami wilayah ini. Keraguan bisa jadi memunculkan semacam phobia untuk mengeksplore lebih jauh.
Secara sosial tidak semua aktifis cyber adalah orang-orang yang bisa dikonotasikan sebagai orang-orang yang mengalienasi terhadap dunia luar, mati rasa terhadap lingkungan sosial nyata dan sebagainya, seperti dituturkan beberapa literatur. Kenyataan di lapangan adalah, para aktifis maya ini, dengan mengamati perkembangannya adalah juga mereka yang sebagian besar berbagi (sharing) pengetahuan dan senantiasa bersosialisasi. Bahkan sebagian juga memiliki filosofi hidup sosial yang tinggi, karena tindakan dan sikap mereka di dunia maya bukan kegiatan sederhana, melainkan memerlukan kemampuan lebih. Dengan kata lain sebagian besar aktifisnya adalah mereka yang terpelajar.
Singkat kata singkat cerita. Penelitian sosiologis terhadap lingkungan dunia maya akan memberikan pemahaman dan ikatan hukum lebih baik, semakin banyaknya kajian sosiologis yang updateable maka intensitas keakuratan data akan selalu terjaga. Dan ini akan memberikan kesegaran jasmani dan rohani bagi hukum kita.
Dan semestinya para aktifis dunia maya juga tau, bahwa dengan hukum yang kuat, maka seluruh rakyat Indonesia akan semakin terlindungi hak-haknya, dan kesejahteraan bersurfing akan lebih aman, nyaman, dan tenteram. Kita juga tau, saat bapak-ibu pejabat negara kita berbicara tidak nyambung tentang nasionalisme, di dunia maya nasionalisme dijalankan dengan lebih langsung, tidak terlalu bertele-tele.
Kita bisa pergi ke toko buku, atau ke perpustakaan, atau ke penjual buku-buku bekas. Dari sana marilah kita mencoba mencari buku-buku tentang kajian hukum cyber karya anak bangsa, bukan terjemahan. Setelah semua kemungkinan terjelajahi untuk mendata sekian banyak daftar buku tentang cyberlaw yang dapat ditemukan secara eksplisit dalam konten buku-buku tersebut adalah: semuanya hanya berupa penulisan dengan memuat berbagai definisi. Definisi hacker, cracker, carder, spammer, atau definisi tentang hal-hal bersifat teknis, seperti hacking, stealing access, foot printing, dan lain sebagainya. Dan semua definisi itu adalah definisi yang diambil dari sumber lain. Begitulah kira-kira isi buku-buku kajian hukum cyber kita. Baik itu berangkat dari kajian hukum independen, dari pemerintah, berupa tulisan pribadi, maupun karya ilmiah. Hampir semuanya masih menyandarkan definisi-definisi yang terkadang buta. Misalkan tentang mempersepsi arti "hacker", ada beberapa buku dari beberapa guru besar hukum kita yang mengasumsikannya sebagai pelaku kejahatan dunia maya. Mereka tidak mendalami strata sosial dalam dunia maya, mereka tidak merasakan secara langsung bagaimana dunia maya itu berbentuk dan berkembang sampai saat ini dan kelak.
Jika para sarjana-sarjana hukum dan ilmu sosial lainnya tidak berusaha turut serta membangun pondasi hukum publik dan privat yang kuat dalam tataran dunia maya, maka akan selamanya kita meminjam definisi orang lain dan definisi yang seringkali usang. Maka dari sinilah titik tolak dimulainya kesadaran tentang urgensi pembangunan akar hukum cyber yang baik dan benar, sesuai eyd.
Disadari atau perlu dipaksa untuk menyadari, dunia maya dan dunia nyata sungguh berbeda. Konon di dunia nyata kita mencuri dan melakukan tindakan mengambil milik orang lain, dengan sengaja, dan maksud untuk memilikinya harus terlihat secara adegan fisik baik itu oleh pelaku utama atau memakai perantara, dengan kata lain langsung atau tak langsung, tetapi intinya tetap sama, "mengambil" ya kalo di kamus oxford diterjemahkan jadi: carry something or caused subject to go from one place to another. Definisi ini sudah kadaluarsa. Karena kini mencuri tidak selalu berarti mengambil dan menjadikan orang lain kehilangan, atau bahkan kalaupun kehilangan juga tidak lagi benda-benda yang melulu teraba dan berdimensi ruang. Mencuri kemudian bisa berarti menduplikasi dengan maksud mengambil secara tidak layak, yang dalam regulasi kadang diikuti dengan kata-kata 'merusak', atau 'menjadikan tidak dapat diakses', dan lain sebagainya.
Jika semua definisi tentang tindakan berubah, apakah selamanya akan memaksakan pemakaian konotasi lama tentang tindakan. Jika semua definisi lama yang butuh pembuktian kaku--misalkan soal rekonstruksi kejadian. jelas rumit untuk suatu tindak pidana cyber--, maka penegakan hukum juga akan menemui banyak celah yang sulit ditutup, bahkan bisa jadi hukum dan alat-alat penegakan hukumnya hanya akan melongo saat ada kejahatan baru, lantas mereka berkata, "ini kejahatan macam apa ya?"
Jika semua cara kejahatan berubah, saatnya melakukan perubahan secara radikal. Dan satu caranya adalah mulai lagi dari hal yang alami, natural dalam alam maya, sosiologis. Sosiolegal dalam hukum cyber masih kurang diminati untuk dijelajahi dan dieksplore. Salah satu faktornya adalah masih kurangnya pengetahuan dan kurangnya kapabilitas para calon peneliti untuk menyelami wilayah ini. Keraguan bisa jadi memunculkan semacam phobia untuk mengeksplore lebih jauh.
Secara sosial tidak semua aktifis cyber adalah orang-orang yang bisa dikonotasikan sebagai orang-orang yang mengalienasi terhadap dunia luar, mati rasa terhadap lingkungan sosial nyata dan sebagainya, seperti dituturkan beberapa literatur. Kenyataan di lapangan adalah, para aktifis maya ini, dengan mengamati perkembangannya adalah juga mereka yang sebagian besar berbagi (sharing) pengetahuan dan senantiasa bersosialisasi. Bahkan sebagian juga memiliki filosofi hidup sosial yang tinggi, karena tindakan dan sikap mereka di dunia maya bukan kegiatan sederhana, melainkan memerlukan kemampuan lebih. Dengan kata lain sebagian besar aktifisnya adalah mereka yang terpelajar.
Singkat kata singkat cerita. Penelitian sosiologis terhadap lingkungan dunia maya akan memberikan pemahaman dan ikatan hukum lebih baik, semakin banyaknya kajian sosiologis yang updateable maka intensitas keakuratan data akan selalu terjaga. Dan ini akan memberikan kesegaran jasmani dan rohani bagi hukum kita.
Dan semestinya para aktifis dunia maya juga tau, bahwa dengan hukum yang kuat, maka seluruh rakyat Indonesia akan semakin terlindungi hak-haknya, dan kesejahteraan bersurfing akan lebih aman, nyaman, dan tenteram. Kita juga tau, saat bapak-ibu pejabat negara kita berbicara tidak nyambung tentang nasionalisme, di dunia maya nasionalisme dijalankan dengan lebih langsung, tidak terlalu bertele-tele.