Sumber:http://donysetiadi.com/blog/2010/04/14/cyber-law-munculah-uu-ite-di-indonesia/
By admin · April 14, 2010
Pembuktian untuk tindak kejahatan di dunia maya dengan hukum eksisting di dunia nyata sudah terakomodir dalam UU ITE pasal 17 tentang transaksi elektronik, pasal 42 tentang penyidikan, dan pasal 44 tentang alat bukti penyidikan, … Perlu tidaknya Indonesia memiliki cyber law masih menuai kontroversi. Ada pihak-pihak yang menginginkan Indonesia memilik cyber law dan ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa KUHP dan UU Telekomunikasi masih bisa menangani masalah cyber crime …
Dan ini hanya salah satu contohnya. Hampir semua aktivitas cyber crime membutuhkan aktivitas lainnya untuk melancarkan aktivitas yang dituju. Karena itu UU ITE harus mampu mencakupi semua peraturan terhadap aktivitas-aktivitas cybercrime …. cybercrime,dan seharusnya masyarakat dapat diperkenalkan lebih lanjut lagi mengenai UUD ITE supaya masyarakat tidak rancu lagi mengenai tata tertib mengenai cyberlaw ini dan membantu mengurangi kegiatan cybercrime di indonesia. …
Ada kabar, kini di BPHN tengah dirumuskan Rancangan Undang-undang cyber crime kita yang baru, yang diperkirakan akan lebih compatible. Mungkin UU ITE kemudian dipandang sebagai UUD-nya cyber law lain yang akan muncul belakangan. Dan …
Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Heru Sutadi meminta semua pihak jangan alergi untuk melakukan revisi UU ITE karena era konvergensi akan datang di ranah industri Telekomunikasi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). … Di Malaysia Cyber Law itu kumpulan UU bukan kumpulan PP. Di Indonesia karena banyak di-outsorce dalam bentuk PP malah tidak memberikan kepastian hukum. Karena PP keluar turunannya belum ada, tidak jalan juga,” katanya.[dni] …
Isi UU ITE yang Membahayakan Kebebasan Pendapat Pengguna Online. Pasal dalam Undang-undang ITE Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia berangkat dari mulai banyaknya transaksi-transaksi perdagangan yang terjadi lewat dunia maya. … Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker, pelarangan penayangan content …
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) / Cyber Law. Sekarang lagi heboh2nya kasus tentang Ibu Prita… Bagi yang ga tau, bisa diliat di postingan sebelumnya… Btw, saya merasa mempertanyakan tentang UU ITE yang ada di Indo tuh …
Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para …
Yang jelas, dengan cyber law ini, sudah ada payung hukum di dunia maya. Maka kalau Anda bergerak di bisnis ini, pelajari baik-baik isinya. Secara umum dijelaskan dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), …
Idealnya kita memiliki cyberlaw yang menjadi payung bagi aturan-aturan yang terkait dengan dunia cyber, namun karena RUU ITE telah menempuh waktu yang lama untuk dibawa ke parlemen dan dibahas, UU ITE sesungguhnya dapat pula dijadikan …
Akhirnya Rancangan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) disetujui DPR menjadi Undang-Undang dua hari lalu. UU ini, dengan demikian menjadi cyber law pertama di Indonesia. Isinya cukup luas. Banyak hal diatur di UU ITE ini.. :ngacir:
Kamis, 29 Juli 2010
Ulang Tahun ke-2 TPC dan Martil UU ITE: Sebuah Refleksi
Sumber:http://sawali.info/2009/11/30/ulang-tahun-ke-2-tpc-dan-martil-uu-ite-sebuah-refleksi/
Monday, 30 November 2009 (16:47) | 289 pembaca | 151 komentar | Print this Article
Apa yang menarik dari serangkaian acara yang digelar oleh TPC (tugupahlawan.com) dalam merayakan HUT-nya yang kedua? Sahabat-sahabat blogger dari berbagai komunitas yang kebetulan hadir di kota pahlawan ini, bisa dipastikan tak begitu gampang melupakan acara kopdar bareng atau Tour de Surabaya City yang digelar panitia. Selain itu, keramahan shohibul bait dalam menyambut setiap tamu yang datang, setidaknya bisa menghapuskan kesan elitisme di kalangan blogger, sehingga serangkaian agenda yang digelar 28-29 November 2009 itu bisa berlangsung lebih cair dan egaliter. Kekompakan awak TPC dalam mendesain acara dan keberhasilannya dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, juga bisa makin membuktikan bahwa posisi blogger makin diperhitungkan dalam beragam aksi di dunia nyata. Kesan bahwa blogger hanya asyik di puncak menara gading dunia maya yang kurang membumi pun bisa ditepisnya.
HUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCDialog interaktif yang mengusung tema “Kebebasan Berekspresi di Dunia Online” pun tak kalah menarik. Mengapa? Tema besar ini diangkat kembali ke permukaan lantaran kelahiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai bisa menjadi ancaman serius buat para blogger dalam berekspresi. Bahkan, suatu ketika bisa menjadi martil yang menghantam para blogger ketika aparat penegak hukum kehilangan fatsoen dan kearifan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam pengantarnya, Mas Budiono, yang didaulat sebagai moderator, langsung membidik kasus yang menimpa Bu Prita Mulyasari –yang menjadi “tumbal” kehadiran UU ITE– sebagai “peluru” dialog. Menurutnya, ketika kasus yang diduga mencemarkan nama baik RS Omni Internasional Tangerang itu mencuat ke permukaan, ada keresahan di kalangan blogger. Mereka jadi takut untuk berekspresi karena ancaman pidana yang ditebarkan oleh UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 yang berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Lalu, bagaimana sikap para blogger dalam menghadapi “represi” UU ITE? Haruskah para blogger terus berada dalam situasi tertekan hingga akhirnya tak punya keberanian untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi? Langkah dan trik apa yang perlu dilakukan agar para blogger tetap aman dan nyaman dalam berekspresi di blognya masing-masing? Setidak-tidaknya, itulah beberapa pertanyaan penting yang mengemuka dalam dialog interaktif yang berlangsung di lantai VII Gedung Telkom Margoyoso Surabaya pada hari Sabtu, 28 November 2009 mulai pukul 09.30 s.d. 12.30 WIB itu.
Tak Perlu Takut Berekspresi
Menyikapi lahirnya UU ITE, Wawali Surabaya (Pak Arif Afandi) yang menjadi keynote speaker, menyatakan bahwa para blogger tidak perlu takut terhadap UU ITE. Di hadapan sekitar 250-an penggiat dunia maya, Pak Arif Afandi mengimbau untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi dengan penuh rasa tanggung jawab sehingga tak terkena jerat pasal-pasal UU ITE.
Saya yang kebetulan juga didaulat untuk berbicara lebih banyak menyoroti kebebasan berekspresi di dunia maya dari sudut pandang pragmatik. Sambil menunggu perkembangan kemungkinan dilakukannnya uji materiil terhadap UU ITE yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dan pendapat di muka umum, saya menyatakan bahwa sesungguhnya ada atau tidak ada UU ITE, para blogger tidak perlu takut untuk berekspresi, asalkan mempertimbangkan prinsip kerja sama dan kesantunan dalam berekspresi. Prinsip kerja sama menganjurkan kepada setiap penutur untuk memperhatikan empat bidal dalam berekspresi, yakni bidal kuantitatif, kualitatif, relevan, dan cara. Keempat bidal ini menyarankan adanya bukti, fakta, dan argumentasi yang kuat dan meyakinkan dalam setiap tulisan agar para blogger tak gampang dijerat pasal-pasal UU ITE. Sedangkan, prinsip kesantunan menyarankan agar memperhatikan nilai-nilai etika dan moral sehingga pendapat yang disampaikan di muka umum (termasuk di dunia maya) tidak membangkitkan sentimen SARA.
Sementara itu, Mas Donny, BU dari ICT Watch, yang juga didaulat sebagai narasumber membeberkan dampak dan efek yang timbul akibat lahirnya UU ITE secara visual. Melalui gambar slide yang ditayangkan, tampak jelas betapa dahsyatnya ancaman yang ditimbulkan oleh UU ITE itu terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya.
Gayung pun bersambut, meski sang moderator mesti berkali-kali membangkitkan “adrenalin” peserta untuk berdialog dengan menawarkan doorprize. Ketika persoalan dan wacana itu dilemparkan Mas Budiono kepada audience, ada beberapa respon yang muncul dari peserta dialog berkaitan dengan kebebasan berekspresi melalui facebook, budaya latah dalam memanfaatkan media virtual, dan batasan tentang unsur pornografi di internet. Namun, keterbatasan waktu agaknya tak memungkinkan diskursus kebebasan berekspresi bisa terbahas tuntas dalam dialog. Tak mengherankan jika diskusi ini berlanjut dalam acara kopdar ramah-tamah yang berlangsung di Wisma Sejahtera, tempat bermalam panitia dan tamu undangan.
Monday, 30 November 2009 (16:47) | 289 pembaca | 151 komentar | Print this Article
Apa yang menarik dari serangkaian acara yang digelar oleh TPC (tugupahlawan.com) dalam merayakan HUT-nya yang kedua? Sahabat-sahabat blogger dari berbagai komunitas yang kebetulan hadir di kota pahlawan ini, bisa dipastikan tak begitu gampang melupakan acara kopdar bareng atau Tour de Surabaya City yang digelar panitia. Selain itu, keramahan shohibul bait dalam menyambut setiap tamu yang datang, setidaknya bisa menghapuskan kesan elitisme di kalangan blogger, sehingga serangkaian agenda yang digelar 28-29 November 2009 itu bisa berlangsung lebih cair dan egaliter. Kekompakan awak TPC dalam mendesain acara dan keberhasilannya dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, juga bisa makin membuktikan bahwa posisi blogger makin diperhitungkan dalam beragam aksi di dunia nyata. Kesan bahwa blogger hanya asyik di puncak menara gading dunia maya yang kurang membumi pun bisa ditepisnya.
HUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCDialog interaktif yang mengusung tema “Kebebasan Berekspresi di Dunia Online” pun tak kalah menarik. Mengapa? Tema besar ini diangkat kembali ke permukaan lantaran kelahiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai bisa menjadi ancaman serius buat para blogger dalam berekspresi. Bahkan, suatu ketika bisa menjadi martil yang menghantam para blogger ketika aparat penegak hukum kehilangan fatsoen dan kearifan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam pengantarnya, Mas Budiono, yang didaulat sebagai moderator, langsung membidik kasus yang menimpa Bu Prita Mulyasari –yang menjadi “tumbal” kehadiran UU ITE– sebagai “peluru” dialog. Menurutnya, ketika kasus yang diduga mencemarkan nama baik RS Omni Internasional Tangerang itu mencuat ke permukaan, ada keresahan di kalangan blogger. Mereka jadi takut untuk berekspresi karena ancaman pidana yang ditebarkan oleh UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 yang berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Lalu, bagaimana sikap para blogger dalam menghadapi “represi” UU ITE? Haruskah para blogger terus berada dalam situasi tertekan hingga akhirnya tak punya keberanian untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi? Langkah dan trik apa yang perlu dilakukan agar para blogger tetap aman dan nyaman dalam berekspresi di blognya masing-masing? Setidak-tidaknya, itulah beberapa pertanyaan penting yang mengemuka dalam dialog interaktif yang berlangsung di lantai VII Gedung Telkom Margoyoso Surabaya pada hari Sabtu, 28 November 2009 mulai pukul 09.30 s.d. 12.30 WIB itu.
Tak Perlu Takut Berekspresi
Menyikapi lahirnya UU ITE, Wawali Surabaya (Pak Arif Afandi) yang menjadi keynote speaker, menyatakan bahwa para blogger tidak perlu takut terhadap UU ITE. Di hadapan sekitar 250-an penggiat dunia maya, Pak Arif Afandi mengimbau untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi dengan penuh rasa tanggung jawab sehingga tak terkena jerat pasal-pasal UU ITE.
Saya yang kebetulan juga didaulat untuk berbicara lebih banyak menyoroti kebebasan berekspresi di dunia maya dari sudut pandang pragmatik. Sambil menunggu perkembangan kemungkinan dilakukannnya uji materiil terhadap UU ITE yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dan pendapat di muka umum, saya menyatakan bahwa sesungguhnya ada atau tidak ada UU ITE, para blogger tidak perlu takut untuk berekspresi, asalkan mempertimbangkan prinsip kerja sama dan kesantunan dalam berekspresi. Prinsip kerja sama menganjurkan kepada setiap penutur untuk memperhatikan empat bidal dalam berekspresi, yakni bidal kuantitatif, kualitatif, relevan, dan cara. Keempat bidal ini menyarankan adanya bukti, fakta, dan argumentasi yang kuat dan meyakinkan dalam setiap tulisan agar para blogger tak gampang dijerat pasal-pasal UU ITE. Sedangkan, prinsip kesantunan menyarankan agar memperhatikan nilai-nilai etika dan moral sehingga pendapat yang disampaikan di muka umum (termasuk di dunia maya) tidak membangkitkan sentimen SARA.
Sementara itu, Mas Donny, BU dari ICT Watch, yang juga didaulat sebagai narasumber membeberkan dampak dan efek yang timbul akibat lahirnya UU ITE secara visual. Melalui gambar slide yang ditayangkan, tampak jelas betapa dahsyatnya ancaman yang ditimbulkan oleh UU ITE itu terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya.
Gayung pun bersambut, meski sang moderator mesti berkali-kali membangkitkan “adrenalin” peserta untuk berdialog dengan menawarkan doorprize. Ketika persoalan dan wacana itu dilemparkan Mas Budiono kepada audience, ada beberapa respon yang muncul dari peserta dialog berkaitan dengan kebebasan berekspresi melalui facebook, budaya latah dalam memanfaatkan media virtual, dan batasan tentang unsur pornografi di internet. Namun, keterbatasan waktu agaknya tak memungkinkan diskursus kebebasan berekspresi bisa terbahas tuntas dalam dialog. Tak mengherankan jika diskusi ini berlanjut dalam acara kopdar ramah-tamah yang berlangsung di Wisma Sejahtera, tempat bermalam panitia dan tamu undangan.
Judi Internet, sejauh manakah UU ITE bisa menjangkaunya?
Sumber:http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl7026
Pertanyaan(tyara2009) (10.07.09 10:48) (114 klik)
Pertanyaan :
baru-baru ini, saya mengunjungi situs yang bertajuk "Lelang Online Indonesia", dengan alamat http://www.swinde.com Skema "lelang" disana adalah yang menjadi pemenang adalah penawar tertinggi dan waktu lelang usai. Harga barang awal 5.000 dengan waktu lelang 24jam. Peserta berlomba lomba menawar dengan poin yang dibeli disitus tersebut. 1 poin=Rp5.000 dan tiap kali sekali tawar/bidding, hilang 1 poin. Jadi, yang kalah poin tidak kembali. Indikasi judinya adalah uang/poin yang kalah hilang. (untuk skema jelasnya, kunjungi situs tsb) Apakah sistem lelang semacam ini bisa dibenarkan? Bukankah ini judi? Bagaimana di mata hukum? terimakasih.
Jawaban :
Judi atau perjudian di Indonesia diatur melalui UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Judi sendiri diartikan dalam Pasal 303 ayat (3) Wetboek van Strafrecht (WvS/KUHPidana) sebagai (terjemahan bebas Indonesia), tiap�tiap permainan di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Termasuk dalam pengertian itu segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhan lainnya.
Ketentuan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 menyatakan bahwa segala jenis perjudian dinyatakan sebagai kejahatan. Karena itu, Pasal 542 WvS yang semula Judi di jalanan umum dinyatakan sebagai pelanggaran telah berubah menjadi kejahatan dan diubah menjadi Pasal 303 bis. Jika melihat dari definisi judi yang dinyatakan dalam Pasal 303 ayat (3) WvS, maka kegiatan di atas dapat dikategorikan sebagai judi.
Perjudian yang dilakukan secara online di internet juga telah diatur di dalam Pasal 27 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Ancaman pidana bagi pelanggaran Pasal 27 ayat (2), diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Perlu ditambahkan bahwa terdapat perbedaan ancaman hukuman untuk perjudian antara Pasal 303 KUHPidana dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Jika dalam Pasal 303 KUHPidana diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling lama Rp 25 juta, maka dalam UU ITE ancaman pidana penjara menjadi turun hanya paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 1 miliar. Kami berharap nilai Rp 25 juta tidak dilihat dalam kerangka masa kini, tapi pada nilai rupiah pada 1974 yang tentunya sangat besar.
Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu.
Bung Pokrol
Sumber : Hukumonline
Pertanyaan(tyara2009) (10.07.09 10:48) (114 klik)
Pertanyaan :
baru-baru ini, saya mengunjungi situs yang bertajuk "Lelang Online Indonesia", dengan alamat http://www.swinde.com Skema "lelang" disana adalah yang menjadi pemenang adalah penawar tertinggi dan waktu lelang usai. Harga barang awal 5.000 dengan waktu lelang 24jam. Peserta berlomba lomba menawar dengan poin yang dibeli disitus tersebut. 1 poin=Rp5.000 dan tiap kali sekali tawar/bidding, hilang 1 poin. Jadi, yang kalah poin tidak kembali. Indikasi judinya adalah uang/poin yang kalah hilang. (untuk skema jelasnya, kunjungi situs tsb) Apakah sistem lelang semacam ini bisa dibenarkan? Bukankah ini judi? Bagaimana di mata hukum? terimakasih.
Jawaban :
Judi atau perjudian di Indonesia diatur melalui UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Judi sendiri diartikan dalam Pasal 303 ayat (3) Wetboek van Strafrecht (WvS/KUHPidana) sebagai (terjemahan bebas Indonesia), tiap�tiap permainan di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Termasuk dalam pengertian itu segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga pertaruhan lainnya.
Ketentuan Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1974 menyatakan bahwa segala jenis perjudian dinyatakan sebagai kejahatan. Karena itu, Pasal 542 WvS yang semula Judi di jalanan umum dinyatakan sebagai pelanggaran telah berubah menjadi kejahatan dan diubah menjadi Pasal 303 bis. Jika melihat dari definisi judi yang dinyatakan dalam Pasal 303 ayat (3) WvS, maka kegiatan di atas dapat dikategorikan sebagai judi.
Perjudian yang dilakukan secara online di internet juga telah diatur di dalam Pasal 27 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang berbunyi, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. Ancaman pidana bagi pelanggaran Pasal 27 ayat (2), diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Perlu ditambahkan bahwa terdapat perbedaan ancaman hukuman untuk perjudian antara Pasal 303 KUHPidana dengan Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE. Jika dalam Pasal 303 KUHPidana diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling lama Rp 25 juta, maka dalam UU ITE ancaman pidana penjara menjadi turun hanya paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 1 miliar. Kami berharap nilai Rp 25 juta tidak dilihat dalam kerangka masa kini, tapi pada nilai rupiah pada 1974 yang tentunya sangat besar.
Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu.
Bung Pokrol
Sumber : Hukumonline
Perubahan Perilaku Masyarakat terhadap penggunaan teknologi informasi (internet) pasca di berlakukannya UU ITE No.11 2008
Sumber:http://egiyakuza.blogspot.com/2009/06/perubahan-perilaku-masyarakat-terhadap.html
Rabu, 10 Juni 2009
1. Latar Belakang
Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti makna ‘sains’, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah. Teknologi, berasal dari literatur Yunani, yaitu technologia, yang diperoleh dari asal kata techne, bermakna wacana seni. Ketika istilah itu pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris di abad ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas ‘seni terapan’ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk pada pertukangan itu sendiri. Pada abad ke-20, maknanya diperluas untuk mencakup tidak hanya alat-alat dan mesin-mesin, tetapi juga metode dan teknik non-material. Yang berarti suatu aplikasi sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian besar definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan hubungannya dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti dikutip Capra (2004, 107) mendefinisikan teknologi sebagai ‘kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam cara yang memungkinkan pengulangan.
Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.
Dalam kacamata kaum determinist, teknologi merupakan elemen penting yang menjadi pangkal dari perubahan sosial. Teknologi dilihat sebagai kekuatan sosial dari luar yang masuk (atau dimasukkan) ke dalam situasi sosial tertentu dan mengakibatkan efek perubahan beruntun. Meskipun dalam kenyataan tak selamanya begitu. Sebagaimana yang terjadi di India ketika para petani di sana dikenalkan pada teknologi televisi dalam rangka difusi-inovasi teknologi pertanian (Rogers, 1982:80).
Teknologi merupakan hasil dari survival masyarakat terhadap kehidupannya, teknologi bertujuan untuk dapat membantu dalam menunjang kehidupan masyarakat untuk lebih efisien. Penemuan-penemuan teknologi selalu berkembang dan melahirkan berbagai macam teknologi lainya. Kelahiran teknologi-teknologi telah melahirkan pula teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi. Temuan-temuan ini didasarkan atas kebutuhan manusia akan informasi. Kata informasi itu sendiri berasal dari kata Perancis kuno informacion (tahun 1387) yang diambil dari bahasa latin informationem yang berarti “garis besar, konsep, ide”. Informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti aktifitas dalam “pengetahuan yang dikomunikasikan”. (Online Etymology Dictionary: Information)
Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi. Namun demikian istilah ini memiliki banyak arti bergantung pada konteksnya, dan secara umum berhubungan erat dengan konsep seperti arti, pengetahuan, komunikasi, kebenaran, representasi, dan rangsangan mental. (American Heritage Dictionary: Information)
Informasi itu sendiri merupakan penyampaian terhadap suatu pesan agar orang yang dituju dapat mengerti isi pesan tersebut. Pesan-pesan tersebut bisa mengandung berbagai macam hal, secara pasti pesan tersebut akan memberikan pengetahuan bagi orang lain. Maka dari itu informasi dikemas dalam berbagai bentuk agar dapat mudah dipahami oleh setiap orang, dengan kemasan-kemasan tersebut maka munculah teknologi-teknologi yang menunjang penyampain informasi dalam bentuk yang lebih modern serta efisien. Teknologi informasi pun berkembang hingga saat ini, dari mulai surat, telegram, radio, hingga berkembang menjadi handphone, internet, e-mail, televisi, dan sebagainya.
“Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.”
(UU RI No.11 Tahun 2008, tentang Informasi dan transaksi Elektronik)
Deskripsi tentang teknologi informasi tersebut dijelaskan dalam UU ITE, dalam undang-undang tersebut pemerintah menjelaskan bahwa teknologi informasi merupakan sebuah teknik modern untuk mengemas informasi ke dalam suatu bentuk, dan informasi tersebut bisa disimpan maupun disebarkan.
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada suatu masyarakat. Perkembangan teknologi informasi pun secara signifikan mendorong perubahan aspek-aspek tersebut dengan sedemikian cepatnya. Saat ini teknologi informasi dianalogikan sebagai pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat untuk melawan hukum.
Penelitian ini mengkaji tentang internet, karena internet merupakan salah satu wujud dalam teknologi informasi. Secara harfiah, internet (kependekan daripada perkataan 'interconnected-networking') ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking. (http://id.wikipedia.org/wiki/Internet). Internet saat ini berkembang sangat besar, jumlah penggunanya pun menjadi tinggi ini terlihat pada statistic tentang pengguna internet saat ini.
Dilihat dari statistik yang dilansir oleh www.internetworldstats.com tersebut angka pengguna internet pada tahun 2008 mencapai 1,463,632,361. Jika dilihat di asia saat ini Indonesia ternyata duduk diperingkat kelima dengan jumlah pengguna mencapai 25 juta penduduk. Terlihat pada statistic dibawah ini :
Asia Top Internet Countries
Dari Jumlah pengguna Internet yang besar dan semakin berkembang ini maka telah mewujudkan suatu budaya masal yaitu budaya internet. Karena Internet juga mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu, dan pandangan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, Internet melambangkan penyebaran (decentralization) / pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim.
Perkembangan Internet juga telah mempengaruhi perkembangan ekonomi. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka (dan sebagian sangat kecil melalui pos atau telepon), kini sangat mudah dan sering dilakukan melalui Internet. Transaksi melalui Internet ini dikenal dengan nama e-commerce. Terkait dengan pemerintahan, Internet juga memicu tumbuhnya transparansi pelaksanaan pemerintahan melalui e-government. Serta komunikasi antar individu menjadi lebih efisien, karena banyaknya situs-situs yang memuat tentang jaringan social. Seperti facebook, friendster, live connector, dsbnya. Dari jaringan-jaringan tersebut maka timbulah interaksi-interaksi yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu interaksi secara nyata (offline) dan interaksi secara maya yaitu (online). Interaksi secara offline membutuhkan interaksi yang secara fisik sedangkan interaksi secara online hanya berhubung pada interaksi dalam dunia maya (cyberspace). Didalam cyberspace inilah orang tidak perlu melakukan interaksi secara fisik. Hal ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Davis (dalam Abrar, 2003 ; 17), bahwa perkembangan teknologi dewasa ini memungkinkan orang untuk berhubungan satu dengan yang lainya tanpa melakukan kontak/interaksi fisik. Dengan demikian hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak/interaksi.
Salah satu perbedaan signifikan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui teknologi informasi (internet, telephon, televisi, dsbnya) akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi informasi, atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik. Dampak tersebut bisa saja berubah menjadi dampak yang negative serta berpengaruh pada aflikasi di dunia nyata. Di dalam dunia maya ada suatu tempat yang memungkinkan orang-orang dari seluruh dunia berbicara/bercakap-cakap satu sama lain serta bertukar/berkirim surat elektronik (e-mail), tempat tersebut lebih dikenal sebagai WELL (whole earth ‘Lectronik Link). Karena internet merupakan sebuah media interaktif 1. didalam cyberspace tersebut banyak sekali informasi-informasi yang bisa didapat oleh setiap individu-individu, informasi tersebut pun bisa berdampak negative dan bisa teraplikasi didalam dunia nyata yang bisa mengakibatkan pelanggaran hukum serta perubahan moral yang buruk.
Adanya perkembangan teknologi tersebut maka akan mempengaruhi budaya (culture) yang ada pada masyarakat, sehingga ketika terjadi suatu perubahan dalam masyarakat maka hal ini akan mempengaruhi terhadap pola pikir serta moral masyarakat. Dalam hal ini maka hukumlah yang sangat berperan dalam mengatur pola perilaku masyarakat, seperti pernyataan ubi soceitas ibi ius (di mana ada masyarakat maka disitulah ada hukum).
Dengan berkembangnya teknologi Informasi maka munculah hukum baru yang lebih dikenal dengan sebutan hukum siber (cyber law) atau hukum telematika. Hukum siber tersebut, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lainya yang juga digunakan dalam teknologi informasi adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Saat ini banyak muncul kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal maupun secara global (Internet). Pemanfaatan teknologi informasi tersebut berbasis sistem komputer, yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya. dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik2.
Maka dari itu hukum sangat berperan penting dalam permasalahan ini, karena hukum mempunyai berbagai fungsi yaitu
· Sarana pengendalian masyarakat (a tool of social control),
· Sarana pemelihara masyarakat (a tool of social maintenance),
· Sarana untuk menyelesaikan konflik (a tool of dispute settlement),
· Sarana pembaharuan / alat merekayasa masyarakat (a tool of social engineering, Roscoe Pound).
Berawal dari fungsi-fungsi hukum tersebut pemerintah mempunyai peranan sebagai penjamin kepastian hukum pada sarana pemanfaatan teknologi yang modern. Karena besarnya kemampuan yang dimiliki dunia internet, bermacam-macam bentuk kejahatan dan penyimpangan fungsi terjadi. Oleh karena itu disusunlah sebuah peraturan yang membatasi pergerakan para 'penjahat internet' sekaligus untuk memberikan rasa aman pada pengguna internet lainnya. Dengan banyaknya jenis layanan informasi yang disediakan oleh dunia internet, bentuk-bentuk kejahatan maupun tindakan-tindakan amoral dalam kemasan baru pun lahir. Hal ini memang tidak dapat dibendung karena banyaknya kepentingan yang dimuat dalam Internet. Selanjutnya akan digambarkan kejahatan maupun tindakan amoral yang paling banyak ditemui saat surfing dalam dunia internet.
Anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Untuk itu Anda harus hati-hati jangan masuk ke dalam area tersebut karena hal itu tidak baik dan akan merugikan Anda. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. Untuk mengantisipasi hal ini, para produsen browser melengkapi program mereka dengan kemampuan untuk memilih jenis homepage yang dapat diakses. Karena segi bisnis dan isi pada dunia Internet tidak terbatas, maka para pemilik situs menggunakan segala macam cara agar dapat menjual situs mereka. Internet pun tidak luput dari serangan para penipu, yang menggunakan sarana-sarana dalam internet. Didalam dunia internet ada yang dinamakan dengan Netiquette , ini merupakan Etika dalam menggunakan Internet. Internet sebagai sebuah kumpulan komunitas, diperlukan aturan yang akan menjadi acuan orang-orang sebagai pengguna Internet, dimana aturan ini menyangkut batasan dan cara yang terbaik dalam memanfaatkan fasilitas Internet. Sebenarnya Nettiquette in adalah hal yang umum dan biasa, sama hal nya dengan aturan-aturan biasa ketika kita memasuki komunitas umum dimana informasi sangat banyak dan terbuka.
Beberapa aturan yang ada pada Nettiquete ini adalah:
1. Amankan dulu diri anda, maksudnya adalah amankan semua properti anda, mungkin dapat dimulai dari mengamankan komputer anda, dengan memasang anti virus atau personal firewall
2. Jangan terlalu mudah percaya dengan Internet, sehingga anda dengan mudah mengupload data pribadi anda. ada baiknya anda harus betul-betul yakin bahwa alamat URL yang anda tuju adalah dijamin keamanannya.
3. dan yang paling utama adalah, hargai pengguna lain di internet, caranya sederhana yaitu,:
a. Jangan biasakan menggunakan informasi secara sembarangan, misalnya plagiat.
b. Jangan berusaha untuk mengambil keuntungan secara ilegal dari Internet, misalnya melakukan kejahatan pencurian nomor kartu kredit
c. Jangan berusaha mengganggu privasi orang lain, dengan mencoba mencuri informasi yang sebenarnya terbatas.
d. Jangan menggunakan huruf kapital terlalu banyak, karena menyerupai kegiatan teriak-teriak pada komunitas sesungguhnya.
Aturan etika tersebut sebenarnya hadir menjadi sebuah etika yang tidak ditetapkan, namun aturanya menjadi sebuah nilai etika bagi pengguna internet itu sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Netiquette)
Kegiatan melalui media sistem elektronik atau disebut juga dengan ruang siber (cyber space) ini bersifat virtual namun dalam implementasinya dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh maka akan terlalu banyak kesulitan-kesulitan dan memungkinan hal ini dapat lolos dari pemberlakuan hukum yang di terapkan dalam KUHP. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Karena timbulnya tindakan kejahatan siber (cyber crime) dalam dunia teknologi informasi itulah yang mengharuskan pemerintah membuat suatu hukum baru.
Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut maka pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Di dalam undang-undang ITE tersebut membahas seputar teknologi informasi serta pengaturan-pengaturannya. Pemerintah berharap dengan diberlakukannya undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik tersebut maka akan dapat berkembang secara optimal bagi pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi. Jika berdasarkan dari UU ITE, maka banyak hal yang dianggap melawan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Di dalam UU ITE ada beberapa pasal yang menjerat tentang perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tersebut, pasal tersebut ada pada pasal 27 sampai dengan pasal 37. Serta pasal 45 sampai dengan pasal 52 yang membahas tentang ketentuan pidananya (sanksi hukumnya). Merujuk pada pasal-pasal yang ditentukan oleh pemerintah tersebut, maka dengan ini diharapkan masyarakat pengguna teknologi informasi (internet) mempergunakan teknologi informasi (internet) tersebut menjadi lebih efektif dan bermanfaat positif. Dengan adanya UU tersebut maka masyarakat pengguna teknologi informasi (internet) perlu beradaptasi dengan undang-undang ini, agar tidak terjerat dengan perlawanan terhadap hukum. Karena menurut fungsi hukum itu sendiri, bahwa hukum perlu mengendalikan serta mengatur sikap masyarakat terhadap pemakaian teknologi informasi (internet) yang berdampak negatif.
Namun karena pemberlakuan undang-undang no.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ini masih dinilai baru, perlu sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang isi serta pemahaman-pemahaman dari UU ITE tersebut. Hal ini terbukti pada contoh kasus yang ada saat ini tentang pelanggaran pada UU ITE. Kasus tentang ibu Prita Mulyasari, beliau ditangkap karena terjerat tindak pidana dalam UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berisi : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik", dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun.
Ibu Prita Mulyasari terbukti telah melakukan pencemaran nama baik kepada RS OMNI Internasional Tangerang, terkait dengan surat elektronik (e-mail) yang berisi tentang keluhan Ibu Prita pada rumah sakit tersebut atas malpraktek yang ibu Prita dapatkan. Surat elektronik tersebut tersebar di dalam dunia maya. Menurut beliau dalam sebuah talkshow TVONE (3/06), beliau tidak tahu tentang tindak pidana yang ada pada isi UU ITE, beliau hanya mengirimkan surat elektronik tersebut kepada teman-temanya saja tanpa mengetahui tindakanya adalah melawan hukum, namun surat tersebut tersebar di blog-blog serta di situs-situs jaringan sosial.
Dari contoh diatas terlihat jelas bahwa sosialisasi tentang isi dalam UU ITE masih belum maksimal dilakukan oleh pemerintah, namun jika saya lihat dari kasus tersebut berart para pengguna internet harus serba hati-hati dalam pemakaiannya terhadap internet.
2. Rumusan masalah
Perkembangan teknologi dikatakan mempengaruhi perubahan terhadap aspek sosial, budaya, serta ekonomi, begitu juga dengan teknologi informasi. Perubahan-perubahan tersebut ikut juga mempengaruhi perubahan perilaku tiap-tiap individu. Namun agar perubahan perilaku serta kultur tersebut tetap dalam keadaan seimbang serta bernilai positif, maka perlu ada payung hukum yang mengatur keseimbangan tersebut. Dengan adanya hukum (UU ITE No.11 tahun 2008) yang menaungi perubahan tersebut maka akan berdampak pula pada perubahan perilaku pada pemanfaatan/pemakaian teknologi informasi.
Dari pernyataan tersebut maka penelitian ini melahirkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa saja sosialisasi yang sudah dilakukan pemerintah tentang isi UU ITE ini kepada masyarakat?
2. Sejauh mana masyarakat pengguna internet mengetahui tentang UU ITE?
3. Bagaimana perubahan perilaku yang terjadi pada masyarakat terhadap pemakaian internet pasca diberlakukanya UU ITE?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian atas pokok bahasan ini, diharapkan dapat mendeskripsikan tentang peran-peran yang sudah dilakukan pemerintah terhadap sosialisasi UU ITE pada masyarakat pengguna internet, serta mendeskripsikan seberapa jauh masyarakat mengenal UU ITE. Jika kedua hal tersebut telah ditemukan maka akan memperjelas tujuan penelitian selanjutnya adalah mendeskripsikan tentang perubahan perilaku masyarakat terhadap pemakaian internet setelah pemerintah memberlakukan UU ITE di Indonesia.
4. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini :
· Secara teoritis : diharapkan memberikan wawasan pengetahuan tentang perubahan perilaku terhadap pemakaian teknologi informasi (internet) setelah pemerintah memberlakukan undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elekronika baik berupa perilaku negative maupun positif.
· Secara praktis : diharapkan memberikan pengetahuan bagi pemerintah terhadap perilaku pengguna teknologi informasi, guna mencapai penyempurnaan UU RI No.11 tahun 2008 tentang ITE serta memberikan cara mensosialisasikan undang-undang tersebut kepada masyarakat.
5. Tinjauan Pustaka
5.1 Teknologi Informasi dan Komunikasi telah membawa perubahan dalam aspek kehidupan masyarakat.
Masyarakat semakin terbuka dengan dunia luar sehingga kehidupan dari luar dengan mudah dapat disaksikan dan diketahui oleh masyarakat. Arah perkembangan kehidupan yang demikian dengan sendirinya turut mengubah sistem nilai budaya masyarakat. Gagasan-gagasan baru yang muncul sebagai dampak kemajuan teknologi informasi turut mengubah kehidupan bangsa, sehingga masyarakat terkesan lebih matrealistis dan egoistis. (Sairin, 2002 ; 9).
Arus-arus informasi yang terjadi di dalam dunia maya, tiap detiknya selalu dikonsumsi oleh para pengguna internet. Arus-arus informasi tersebut bisa memberikan ilmu pengetahuan yang bersifat positif maupun negatif. Dari informasi-informasi tersebut tiap-tiap individu menginterprestasikan secara berbeda. Informasi tersebut bisa diserap dalam kehidupan dunia nyata, yang membentuk perubahan-perubahan perilaku tiap individu. Jika hal ini mengeneralisasikan pada kehidupan masyarakat, maka akan terjadi suatu perubahan terhadap pola kehidupan serta nilai terhadap sistem budaya masyarakat. Seperti yang di kemukakan oleh Sairin kecenderungan-kecenderungan ini bisa berdampak negatif yang menjadikan suatu masyarakat menjadi lebih matrealistis dan egoistis dalam bersosialisasi.
Teknologi informasi pun menjadi sesuatu yang merugikan bagi beberapa masyarakat, maka dari itu kemajuan teknologi informasi dapat juga menghasilkan suatu reaksi negative berupa serangan balik yaitu sikap anti teknologi (Nasution, 1989 ; 119). Hal ini terlihat seperti sekarang ini di Indonesia, yang cenderung ketimuran. Salah satu organisasi sosial dengan berbasis budaya Islam, yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa terhadap satu jaringan sosial di dunia maya yang dikenal dengan facebook. Hal ini dianggap menghilangkan budaya-budaya ketimuran yang memperlihatkan interaksi sosial secara fisik, serta jaringan sosial ini dianggap memberikan nilai-nilai buruk bagi masyarakat.
Akan tetapi teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya memberikan hal yang berdampak negatif. Teknologi komunikasi merupakan suatu alat untuk menambah kemampuan orang berkomunikasi, yang memungkinkan terjadinya :
· Hubungan antar individu di daerah/Negara lain dengan cepat.
· Penyaluaran aspirasi dan ekspresi yang menjadikan setiap orang akrab satu sama lain.
· Memberikan kemudahan untuk mengakses hasil-hasil kebudayaan yang muncul di berbagai daerah/Negara.
· Peningkatan partisipasi mereka dalam kehidupan social-politik yang menyangkut seluruh daerah/Negara.
(Abran, 2003 : 1-10)
Teknologi informasi bisa memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat. Ketika kita membuka situs google maka kita dapat mengakses berbagai informasi yang bisa kita cari guna memberikan pengetahuan bagi kita. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
5.2 Hukum dan perubahan sosial.
Hukum merupakan perwujudan dari suatu dorongan tertentu, yang menimbulkan perilaku tertentu pula. Dengan demikian, maka mereka mengartikan hukum sebagai perilaku, yakni perilaku yang teratur ataupun pola perilaku. (Soerjono Soekanto, 1984 ; 164)
Hukum dibuat oleh suatu kekuasaan, baik kekuasaan yang absolute maupun oleh orang/lembaga yang mempunyai wewenang. Ketika ada suatu pelencengan perilaku dalam sebuah kekuasaan, maka si pemegang kekuasaan akan membuat/memberlakukan suatu hukum. Dibentuknya suatu hukum dikarenakan adanya dorongan dari berbagai aspek. Seperti penelitian yang ditujukan ini. Teknologi yang menyebabkan adanya perilaku-perilaku baru yang dianggap merugikan di Indonesia. Maka dari itu lembaga pemegang wewenang yaitu DPR RI membuat suatu hukum baru yang mencakup akan perilaku-perilaku baru tersebut, yaitu dengan dibuatnya UU ITE No.11 tahun 2008.
Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat kebagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusta terjadinya peristiwa tersebut di atas. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Para sarjana sosiologi pernah mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-perubahan tadi berjalan dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan-perubahan yang cepat. Memang, setiap masyarakat pada suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lainnya dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan belaka, akan tetapi dapat pula berarti suatu kemunduran dari masyarakat yang berangkutan yang menyangkut bidang-bidang tertentu. (Artikel Muliadi Nur: Hukum dan perubahan sosial)
Sebagai suatu pedoman menurut Selo Soemardjan (1962:379), bahwa kiranya dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari perumusan tersebut kiranya menjadi jelas bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga sosial sebagai himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.
Menurut Muliadi Nur, dalam artikelnya yang berjudul “Hukum dan Perubahan Sosial”, menjelaskan tentang proses-proses hukum dan perubahan sosial serta hubungan antara hukum dan perubahan sosial.
· Proses perubahan-perubahan sosial.
Adakalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan, secara bersamaan mempengaruhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai, yang kemudian berpengaruh pula terhadap para warga masyarakat. Hal ini dapat merupakan gangguan yang kontinu terhadap keseimbangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan-kekecewaan di antara para warga masyarakat tidak mempunyai saluran yang menuju kearah suatu pemecahan. Apabila ketidak seimbangan tadi dapat dipulihkan kembali melalui suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment); apabila terjadi keadaan yang sebaliknya, maka terjadi suatu ketidak sesuaian (maladjustment).
Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian diri lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan penyesuaian diri para warga masyarakat secara individual. Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan pada kondisi yang tengah mengalami perubahan-perubahan, sedangkan yang kedua menunjuk pada orang-orang secara individual yang berusaha untuk menyesuaikan dirinya pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar supaya yang bersangkutan terhindar disorganisasi kejiwaan.
Di dalam proses perubahan-perubahan sosial dikenal pula saluran-salurannya yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, yang pada umumnya merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dalam masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan lembaga terpokok, tergantung pada fokus sosial masyarakat dan pemuka-pemukanya pada suatu masa tertentu. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung untuk menjadi sumber atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang merupakan suatu konstruksi dengan pola-pola tertentu serta keseimbangan yang tertentu pula. Apabila hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi ditinjau dari sudut aktivitasnya, maka kita akan berurusan dengan fungsinya. Sebenarnya fungsi tersebut lebih penting oleh karena hubungan antara unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu hubungan fungsional.
· Proses perubahan-perubahan hukum
Suatu pertentangan antara mereka yang menganggap bahwa hukum harus mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya dan mereka yang berpendapat bahwa hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat, telah berlangsung sejak lama dan merupakan masalah yang penting dalam sejarah perkembangan hukum. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing diwakili oleh Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan tetapi harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum.
Sebaliknya, Bentham adalah seorang penganut dari faham yang menyatakan bahwa mempergunakan hukum yang telah dikonstruksikan secara rasionil, akan dapat diadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Suatu teori yang sejalan dengan pendapat Von Savigny, penah dikembangkanoleh seorang yuris Austria yang bernama Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelakuan sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup yang hampir mengatur semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya.
Di dalam suatu proses perubahan hukum, maka pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukm, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta adanya badan-badan yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terutama terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana mungkin hanya ada satu badan yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut. Akan tetapi baik pada masyarakat modern ataupun sederhana, ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan.
· Hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial
Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, dan susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan pada suatu pola tertentu. Suatu perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
S.F. Kechekyan (1956) menguraikan suatu gambaran yang cukup lengkap tentang fungsi hukum di Soviet Rusia, di satu fihak ia mengakui bahwa hukum dibentuk oleh negara dimana hukum tersebut merupakan ekspressi keinginan-keinginan elit politik dan ekonomi. Oleh karena itu hukum terikat oleh kondisi-kondisi sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perubahan-perubahan dalam hukum banyak tergantung pada perkembangan-perkembangan dalam produksi dan hubungan antar kelas dalam masyarakat, akan tetapi di lain pihak dia pun mengakui beberapa peranan hukum yang kreatif, namun sudah barang tentu tidak semua usaha-usaha penggunaan hukum untuk sosial engineering berakhir dengan hasil-hasil yang diingini. Berkenaan dengan di atas Arnold M. Rose berasumsi bahwa efektivitas penggunaan hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat masih terbatas.
5.3 Teori-teori perilaku
· Teori Festinger (Dissonance Theory)
Finger (1957) ini telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda / bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance.
Sherwood dan Borrou merumuskan dissonance itu sebagai berikut :
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif dissonance
Dissonance = ---------------------------------------------------------------
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif consonance
Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan menyebabkan perubahan perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jumlah elemen kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak seimbang serta sama-sama pentingnya. Hal ini akan menimbulkan konflik pada diri individu tersebut.
Contoh : Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak, dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak yang lain, apabila ia bekerja, ia kuatir terhadap perawatan terhadap anak-anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen (argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri secara kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali. Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya perubahan sikap dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.
· Teori Fungsi, Katz
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa :
a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negative. Contoh; orang ingin mengkonsumsi informasi dari internet, karena internet sudah menjadi kebutuhan bagi orang itu
b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar. Misalnya orang dapat menghindari penyakit demam berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang dihadapi.
Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya bila seseorang merasa sakit kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.
d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Misalnya orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau tindakannya.
Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.
· Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
6. Kerangka pemikiran
Pada hakekatnya suatu masyarakat selalu berevolusi serta survive terhadap perubahan-perubahan zaman. Masyarakat tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek, ilmu pengetahuan misalnya. Berkembangnya ilmu pengetahuan pada masyarakat menimbulkan berbagai macam temuan-temuan dalam bidang teknologi. Temuan-temuan teknologi ini mencakup berbagai teknologi guna membantu/menunjang kehidupan manusia. Teknologi dalam informasi saat ini khususnya berkembang secara pesat ini terlihat dari berbagai macam teknologi-teknologi informasi yang tiap tahunnya selalu mengemas teknologi yang lebih canggih dari sebelum-sebelumnya. Internet merupakan salah satu temuan dari teknologi informasi. Perkembangan dalam dunia internet telah memberikan kontribusi yang besar pada setiap masyarakat. Saat ini pengguna internet mencapai tingkat yang sangat tinggi ini terlihat jelas pada data statistik di atas. Hal ini terjadi karena internet menyajikan informasi-informasi yang sangat besar, serta memberikan fitur-fitur yang dibutuhkan oleh para konsumen.
Hal ini menjadikan internet seperti dunia tanpa batas, yang tiap detiknya selalu memberikan informasi-informasi baru. Maka dari itu banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia internet. Ini terjadi bahwa internet seperti dunia tanpa sensor, banyak fitur-fitur porno yang hadir didalamnya, ataupun informasi-informasi lainya yang bisa memberikan moral yang buruk pada penggunanya. Internet pun bisa menjadi ajang mencari keuntungan secara illegal, seperti transaksi elektronik (e-commerce) dengan menggunakan kartu kredit yang bukan haknya. Banyak sekali hal-hal yang buruk terjadi. Maka dari itu khususnya di Indonesia, pemerintah membuat hukum baru yang menjerat tindakan-tindakan melawan hukum dalam teknologi informasi. Hukum baru tersebut ialah undang-undang No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Hukum ini mencakup kejahatan-kejahatan dalam dunia siber (cyberspace).
Dengan adanya undang-undang tersebut serta pemahaman terhadap teori perubahan sosial dan perubahan perilaku maka menurut saya akan terjadi sebuah perubahan perilaku yang biasa dilakukan oleh para pengguna teknologi informasi. Hal ini dikarenakan bahwa para pengguna merasa takut terjerat oleh pasal yang berlaku dalam UU RI tersebut. Misalnya : sebelum adanya UU ITE tersebut para pengguna internet dengan bebas membuka fitur-fitur porno, serta mendownload berbagai file yang dianggap dilarang, ataupun para hacker yang selalu berupaya menjebol sistem kemanan suatu lembaga atau perorangan dan banyak lagi hal lainya yang dianggap merugikan. Namun setelah adanya UU ITE yang mencakup hal-hal tersebut maka dengan itu para pengguna internet berhati-hati dalam menggunakan internet.
Dari contoh tersebut maka dugaan sementaranya (hipotesis) adalah bahwa telah terjadi perubahan perilaku pada pemakaian internet setelah pemerintah memberlakukan undang-undang tersebut.Namun tidak semua elemen masyarakat mengetahui isi serta pemahaman dari UU ITE tersebut, maka dari itu pemerintahlah yang harus memberikan sosialisasi terhadap UU tersebut agar semua elemen masyarakat mengetahui serta memahami UU tersebut.
Didasari keingintahuan tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mencari kebenaran atas hipotesis yang telah dibangun dengan fakta yang sebenarnya terjadi pada pemakaian internet.
7. Daftar Pustaka
Muliadi Nur , (2008). http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/hukum-perubahan-sosial.html
Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.
Widodo, A. (2006) Perilaku Manusia,
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi ke 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1990.
Poloma, Margareth. M. Sosiologi Kontemporer. Edisi 1. Cet. ke 6. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sitompil, Asril. Hukum Internet. Bandung : PT Citra Aditiya Bakti. 2001
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
http://www.etymonline.com/
http://www.google.co.id/
Diposkan oleh Egi Nugraha di 01:22
Label: Research
Comment
0 Comment:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Rabu, 10 Juni 2009
1. Latar Belakang
Teknologi, menurut Capra (2004, 106) seperti makna ‘sains’, telah mengalami perubahan sepanjang sejarah. Teknologi, berasal dari literatur Yunani, yaitu technologia, yang diperoleh dari asal kata techne, bermakna wacana seni. Ketika istilah itu pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris di abad ketujuh belas, maknanya adalah pembahasan sistematis atas ‘seni terapan’ atau pertukangan, dan berangsur-angsur artinya merujuk pada pertukangan itu sendiri. Pada abad ke-20, maknanya diperluas untuk mencakup tidak hanya alat-alat dan mesin-mesin, tetapi juga metode dan teknik non-material. Yang berarti suatu aplikasi sistematis pada teknik maupun metode. Sekarang sebagian besar definisi teknologi, lanjut Capra (2004, 107) menekankan hubungannya dengan sains. Ahli sosiologi Manuel Castells seperti dikutip Capra (2004, 107) mendefinisikan teknologi sebagai ‘kumpulan alat, aturan dan prosedur yang merupakan penerapan pengetahuan ilmiah terhadap suatu pekerjaan tertentu dalam cara yang memungkinkan pengulangan.
Dari perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia, yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.
Dalam kacamata kaum determinist, teknologi merupakan elemen penting yang menjadi pangkal dari perubahan sosial. Teknologi dilihat sebagai kekuatan sosial dari luar yang masuk (atau dimasukkan) ke dalam situasi sosial tertentu dan mengakibatkan efek perubahan beruntun. Meskipun dalam kenyataan tak selamanya begitu. Sebagaimana yang terjadi di India ketika para petani di sana dikenalkan pada teknologi televisi dalam rangka difusi-inovasi teknologi pertanian (Rogers, 1982:80).
Teknologi merupakan hasil dari survival masyarakat terhadap kehidupannya, teknologi bertujuan untuk dapat membantu dalam menunjang kehidupan masyarakat untuk lebih efisien. Penemuan-penemuan teknologi selalu berkembang dan melahirkan berbagai macam teknologi lainya. Kelahiran teknologi-teknologi telah melahirkan pula teknologi dalam bidang informasi dan komunikasi. Temuan-temuan ini didasarkan atas kebutuhan manusia akan informasi. Kata informasi itu sendiri berasal dari kata Perancis kuno informacion (tahun 1387) yang diambil dari bahasa latin informationem yang berarti “garis besar, konsep, ide”. Informasi merupakan kata benda dari informare yang berarti aktifitas dalam “pengetahuan yang dikomunikasikan”. (Online Etymology Dictionary: Information)
Informasi adalah pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi. Namun demikian istilah ini memiliki banyak arti bergantung pada konteksnya, dan secara umum berhubungan erat dengan konsep seperti arti, pengetahuan, komunikasi, kebenaran, representasi, dan rangsangan mental. (American Heritage Dictionary: Information)
Informasi itu sendiri merupakan penyampaian terhadap suatu pesan agar orang yang dituju dapat mengerti isi pesan tersebut. Pesan-pesan tersebut bisa mengandung berbagai macam hal, secara pasti pesan tersebut akan memberikan pengetahuan bagi orang lain. Maka dari itu informasi dikemas dalam berbagai bentuk agar dapat mudah dipahami oleh setiap orang, dengan kemasan-kemasan tersebut maka munculah teknologi-teknologi yang menunjang penyampain informasi dalam bentuk yang lebih modern serta efisien. Teknologi informasi pun berkembang hingga saat ini, dari mulai surat, telegram, radio, hingga berkembang menjadi handphone, internet, e-mail, televisi, dan sebagainya.
“Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.”
(UU RI No.11 Tahun 2008, tentang Informasi dan transaksi Elektronik)
Deskripsi tentang teknologi informasi tersebut dijelaskan dalam UU ITE, dalam undang-undang tersebut pemerintah menjelaskan bahwa teknologi informasi merupakan sebuah teknik modern untuk mengemas informasi ke dalam suatu bentuk, dan informasi tersebut bisa disimpan maupun disebarkan.
Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan-perubahan dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya pada suatu masyarakat. Perkembangan teknologi informasi pun secara signifikan mendorong perubahan aspek-aspek tersebut dengan sedemikian cepatnya. Saat ini teknologi informasi dianalogikan sebagai pedang bermata dua, karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat untuk melawan hukum.
Penelitian ini mengkaji tentang internet, karena internet merupakan salah satu wujud dalam teknologi informasi. Secara harfiah, internet (kependekan daripada perkataan 'interconnected-networking') ialah rangkaian komputer yang terhubung di dalam beberapa rangkaian. Manakala Internet (huruf 'I' besar) ialah sistem komputer umum, yang berhubung secara global dan menggunakan TCP/IP sebagai protokol pertukaran paket (packet switching communication protocol). Rangkaian internet yang terbesar dinamakan Internet. Cara menghubungkan rangkaian dengan kaedah ini dinamakan internetworking. (http://id.wikipedia.org/wiki/Internet). Internet saat ini berkembang sangat besar, jumlah penggunanya pun menjadi tinggi ini terlihat pada statistic tentang pengguna internet saat ini.
Dilihat dari statistik yang dilansir oleh www.internetworldstats.com tersebut angka pengguna internet pada tahun 2008 mencapai 1,463,632,361. Jika dilihat di asia saat ini Indonesia ternyata duduk diperingkat kelima dengan jumlah pengguna mencapai 25 juta penduduk. Terlihat pada statistic dibawah ini :
Asia Top Internet Countries
Dari Jumlah pengguna Internet yang besar dan semakin berkembang ini maka telah mewujudkan suatu budaya masal yaitu budaya internet. Karena Internet juga mempunyai pengaruh yang besar atas ilmu, dan pandangan dunia. Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, Internet melambangkan penyebaran (decentralization) / pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara ekstrim.
Perkembangan Internet juga telah mempengaruhi perkembangan ekonomi. Berbagai transaksi jual beli yang sebelumnya hanya bisa dilakukan dengan cara tatap muka (dan sebagian sangat kecil melalui pos atau telepon), kini sangat mudah dan sering dilakukan melalui Internet. Transaksi melalui Internet ini dikenal dengan nama e-commerce. Terkait dengan pemerintahan, Internet juga memicu tumbuhnya transparansi pelaksanaan pemerintahan melalui e-government. Serta komunikasi antar individu menjadi lebih efisien, karena banyaknya situs-situs yang memuat tentang jaringan social. Seperti facebook, friendster, live connector, dsbnya. Dari jaringan-jaringan tersebut maka timbulah interaksi-interaksi yang terbagi menjadi 2 bagian yaitu interaksi secara nyata (offline) dan interaksi secara maya yaitu (online). Interaksi secara offline membutuhkan interaksi yang secara fisik sedangkan interaksi secara online hanya berhubung pada interaksi dalam dunia maya (cyberspace). Didalam cyberspace inilah orang tidak perlu melakukan interaksi secara fisik. Hal ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh Davis (dalam Abrar, 2003 ; 17), bahwa perkembangan teknologi dewasa ini memungkinkan orang untuk berhubungan satu dengan yang lainya tanpa melakukan kontak/interaksi fisik. Dengan demikian hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak/interaksi.
Salah satu perbedaan signifikan antara komunikasi di dunia nyata dengan dunia maya (cyberspace) adalah media yang digunakan, sehingga setiap komunikasi dan aktivitas melalui teknologi informasi (internet, telephon, televisi, dsbnya) akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata, misalnya melalui transfer data, melalui distribusi informasi, atau dapat diaksesnya informasi dan dokumentasi elektronik. Dampak tersebut bisa saja berubah menjadi dampak yang negative serta berpengaruh pada aflikasi di dunia nyata. Di dalam dunia maya ada suatu tempat yang memungkinkan orang-orang dari seluruh dunia berbicara/bercakap-cakap satu sama lain serta bertukar/berkirim surat elektronik (e-mail), tempat tersebut lebih dikenal sebagai WELL (whole earth ‘Lectronik Link). Karena internet merupakan sebuah media interaktif 1. didalam cyberspace tersebut banyak sekali informasi-informasi yang bisa didapat oleh setiap individu-individu, informasi tersebut pun bisa berdampak negative dan bisa teraplikasi didalam dunia nyata yang bisa mengakibatkan pelanggaran hukum serta perubahan moral yang buruk.
Adanya perkembangan teknologi tersebut maka akan mempengaruhi budaya (culture) yang ada pada masyarakat, sehingga ketika terjadi suatu perubahan dalam masyarakat maka hal ini akan mempengaruhi terhadap pola pikir serta moral masyarakat. Dalam hal ini maka hukumlah yang sangat berperan dalam mengatur pola perilaku masyarakat, seperti pernyataan ubi soceitas ibi ius (di mana ada masyarakat maka disitulah ada hukum).
Dengan berkembangnya teknologi Informasi maka munculah hukum baru yang lebih dikenal dengan sebutan hukum siber (cyber law) atau hukum telematika. Hukum siber tersebut, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lainya yang juga digunakan dalam teknologi informasi adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.
Saat ini banyak muncul kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal maupun secara global (Internet). Pemanfaatan teknologi informasi tersebut berbasis sistem komputer, yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya. dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik2.
Maka dari itu hukum sangat berperan penting dalam permasalahan ini, karena hukum mempunyai berbagai fungsi yaitu
· Sarana pengendalian masyarakat (a tool of social control),
· Sarana pemelihara masyarakat (a tool of social maintenance),
· Sarana untuk menyelesaikan konflik (a tool of dispute settlement),
· Sarana pembaharuan / alat merekayasa masyarakat (a tool of social engineering, Roscoe Pound).
Berawal dari fungsi-fungsi hukum tersebut pemerintah mempunyai peranan sebagai penjamin kepastian hukum pada sarana pemanfaatan teknologi yang modern. Karena besarnya kemampuan yang dimiliki dunia internet, bermacam-macam bentuk kejahatan dan penyimpangan fungsi terjadi. Oleh karena itu disusunlah sebuah peraturan yang membatasi pergerakan para 'penjahat internet' sekaligus untuk memberikan rasa aman pada pengguna internet lainnya. Dengan banyaknya jenis layanan informasi yang disediakan oleh dunia internet, bentuk-bentuk kejahatan maupun tindakan-tindakan amoral dalam kemasan baru pun lahir. Hal ini memang tidak dapat dibendung karena banyaknya kepentingan yang dimuat dalam Internet. Selanjutnya akan digambarkan kejahatan maupun tindakan amoral yang paling banyak ditemui saat surfing dalam dunia internet.
Anggapan yang mengatakan bahwa internet identik dengan pornografi, memang tidak salah. Untuk itu Anda harus hati-hati jangan masuk ke dalam area tersebut karena hal itu tidak baik dan akan merugikan Anda. Dengan kemampuan penyampaian informasi yang dimiliki internet, pornografi pun merajalela. Untuk mengantisipasi hal ini, para produsen browser melengkapi program mereka dengan kemampuan untuk memilih jenis homepage yang dapat diakses. Karena segi bisnis dan isi pada dunia Internet tidak terbatas, maka para pemilik situs menggunakan segala macam cara agar dapat menjual situs mereka. Internet pun tidak luput dari serangan para penipu, yang menggunakan sarana-sarana dalam internet. Didalam dunia internet ada yang dinamakan dengan Netiquette , ini merupakan Etika dalam menggunakan Internet. Internet sebagai sebuah kumpulan komunitas, diperlukan aturan yang akan menjadi acuan orang-orang sebagai pengguna Internet, dimana aturan ini menyangkut batasan dan cara yang terbaik dalam memanfaatkan fasilitas Internet. Sebenarnya Nettiquette in adalah hal yang umum dan biasa, sama hal nya dengan aturan-aturan biasa ketika kita memasuki komunitas umum dimana informasi sangat banyak dan terbuka.
Beberapa aturan yang ada pada Nettiquete ini adalah:
1. Amankan dulu diri anda, maksudnya adalah amankan semua properti anda, mungkin dapat dimulai dari mengamankan komputer anda, dengan memasang anti virus atau personal firewall
2. Jangan terlalu mudah percaya dengan Internet, sehingga anda dengan mudah mengupload data pribadi anda. ada baiknya anda harus betul-betul yakin bahwa alamat URL yang anda tuju adalah dijamin keamanannya.
3. dan yang paling utama adalah, hargai pengguna lain di internet, caranya sederhana yaitu,:
a. Jangan biasakan menggunakan informasi secara sembarangan, misalnya plagiat.
b. Jangan berusaha untuk mengambil keuntungan secara ilegal dari Internet, misalnya melakukan kejahatan pencurian nomor kartu kredit
c. Jangan berusaha mengganggu privasi orang lain, dengan mencoba mencuri informasi yang sebenarnya terbatas.
d. Jangan menggunakan huruf kapital terlalu banyak, karena menyerupai kegiatan teriak-teriak pada komunitas sesungguhnya.
Aturan etika tersebut sebenarnya hadir menjadi sebuah etika yang tidak ditetapkan, namun aturanya menjadi sebuah nilai etika bagi pengguna internet itu sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Netiquette)
Kegiatan melalui media sistem elektronik atau disebut juga dengan ruang siber (cyber space) ini bersifat virtual namun dalam implementasinya dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini yang ditempuh maka akan terlalu banyak kesulitan-kesulitan dan memungkinan hal ini dapat lolos dari pemberlakuan hukum yang di terapkan dalam KUHP. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Karena timbulnya tindakan kejahatan siber (cyber crime) dalam dunia teknologi informasi itulah yang mengharuskan pemerintah membuat suatu hukum baru.
Dengan adanya berbagai permasalahan tersebut maka pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Di dalam undang-undang ITE tersebut membahas seputar teknologi informasi serta pengaturan-pengaturannya. Pemerintah berharap dengan diberlakukannya undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik tersebut maka akan dapat berkembang secara optimal bagi pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi. Jika berdasarkan dari UU ITE, maka banyak hal yang dianggap melawan hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi.
Di dalam UU ITE ada beberapa pasal yang menjerat tentang perbuatan yang dilarang oleh undang-undang tersebut, pasal tersebut ada pada pasal 27 sampai dengan pasal 37. Serta pasal 45 sampai dengan pasal 52 yang membahas tentang ketentuan pidananya (sanksi hukumnya). Merujuk pada pasal-pasal yang ditentukan oleh pemerintah tersebut, maka dengan ini diharapkan masyarakat pengguna teknologi informasi (internet) mempergunakan teknologi informasi (internet) tersebut menjadi lebih efektif dan bermanfaat positif. Dengan adanya UU tersebut maka masyarakat pengguna teknologi informasi (internet) perlu beradaptasi dengan undang-undang ini, agar tidak terjerat dengan perlawanan terhadap hukum. Karena menurut fungsi hukum itu sendiri, bahwa hukum perlu mengendalikan serta mengatur sikap masyarakat terhadap pemakaian teknologi informasi (internet) yang berdampak negatif.
Namun karena pemberlakuan undang-undang no.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik ini masih dinilai baru, perlu sosialisasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang isi serta pemahaman-pemahaman dari UU ITE tersebut. Hal ini terbukti pada contoh kasus yang ada saat ini tentang pelanggaran pada UU ITE. Kasus tentang ibu Prita Mulyasari, beliau ditangkap karena terjerat tindak pidana dalam UU ITE Pasal 27 ayat 3 yang berisi : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik", dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun.
Ibu Prita Mulyasari terbukti telah melakukan pencemaran nama baik kepada RS OMNI Internasional Tangerang, terkait dengan surat elektronik (e-mail) yang berisi tentang keluhan Ibu Prita pada rumah sakit tersebut atas malpraktek yang ibu Prita dapatkan. Surat elektronik tersebut tersebar di dalam dunia maya. Menurut beliau dalam sebuah talkshow TVONE (3/06), beliau tidak tahu tentang tindak pidana yang ada pada isi UU ITE, beliau hanya mengirimkan surat elektronik tersebut kepada teman-temanya saja tanpa mengetahui tindakanya adalah melawan hukum, namun surat tersebut tersebar di blog-blog serta di situs-situs jaringan sosial.
Dari contoh diatas terlihat jelas bahwa sosialisasi tentang isi dalam UU ITE masih belum maksimal dilakukan oleh pemerintah, namun jika saya lihat dari kasus tersebut berart para pengguna internet harus serba hati-hati dalam pemakaiannya terhadap internet.
2. Rumusan masalah
Perkembangan teknologi dikatakan mempengaruhi perubahan terhadap aspek sosial, budaya, serta ekonomi, begitu juga dengan teknologi informasi. Perubahan-perubahan tersebut ikut juga mempengaruhi perubahan perilaku tiap-tiap individu. Namun agar perubahan perilaku serta kultur tersebut tetap dalam keadaan seimbang serta bernilai positif, maka perlu ada payung hukum yang mengatur keseimbangan tersebut. Dengan adanya hukum (UU ITE No.11 tahun 2008) yang menaungi perubahan tersebut maka akan berdampak pula pada perubahan perilaku pada pemanfaatan/pemakaian teknologi informasi.
Dari pernyataan tersebut maka penelitian ini melahirkan beberapa pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa saja sosialisasi yang sudah dilakukan pemerintah tentang isi UU ITE ini kepada masyarakat?
2. Sejauh mana masyarakat pengguna internet mengetahui tentang UU ITE?
3. Bagaimana perubahan perilaku yang terjadi pada masyarakat terhadap pemakaian internet pasca diberlakukanya UU ITE?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian atas pokok bahasan ini, diharapkan dapat mendeskripsikan tentang peran-peran yang sudah dilakukan pemerintah terhadap sosialisasi UU ITE pada masyarakat pengguna internet, serta mendeskripsikan seberapa jauh masyarakat mengenal UU ITE. Jika kedua hal tersebut telah ditemukan maka akan memperjelas tujuan penelitian selanjutnya adalah mendeskripsikan tentang perubahan perilaku masyarakat terhadap pemakaian internet setelah pemerintah memberlakukan UU ITE di Indonesia.
4. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini :
· Secara teoritis : diharapkan memberikan wawasan pengetahuan tentang perubahan perilaku terhadap pemakaian teknologi informasi (internet) setelah pemerintah memberlakukan undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elekronika baik berupa perilaku negative maupun positif.
· Secara praktis : diharapkan memberikan pengetahuan bagi pemerintah terhadap perilaku pengguna teknologi informasi, guna mencapai penyempurnaan UU RI No.11 tahun 2008 tentang ITE serta memberikan cara mensosialisasikan undang-undang tersebut kepada masyarakat.
5. Tinjauan Pustaka
5.1 Teknologi Informasi dan Komunikasi telah membawa perubahan dalam aspek kehidupan masyarakat.
Masyarakat semakin terbuka dengan dunia luar sehingga kehidupan dari luar dengan mudah dapat disaksikan dan diketahui oleh masyarakat. Arah perkembangan kehidupan yang demikian dengan sendirinya turut mengubah sistem nilai budaya masyarakat. Gagasan-gagasan baru yang muncul sebagai dampak kemajuan teknologi informasi turut mengubah kehidupan bangsa, sehingga masyarakat terkesan lebih matrealistis dan egoistis. (Sairin, 2002 ; 9).
Arus-arus informasi yang terjadi di dalam dunia maya, tiap detiknya selalu dikonsumsi oleh para pengguna internet. Arus-arus informasi tersebut bisa memberikan ilmu pengetahuan yang bersifat positif maupun negatif. Dari informasi-informasi tersebut tiap-tiap individu menginterprestasikan secara berbeda. Informasi tersebut bisa diserap dalam kehidupan dunia nyata, yang membentuk perubahan-perubahan perilaku tiap individu. Jika hal ini mengeneralisasikan pada kehidupan masyarakat, maka akan terjadi suatu perubahan terhadap pola kehidupan serta nilai terhadap sistem budaya masyarakat. Seperti yang di kemukakan oleh Sairin kecenderungan-kecenderungan ini bisa berdampak negatif yang menjadikan suatu masyarakat menjadi lebih matrealistis dan egoistis dalam bersosialisasi.
Teknologi informasi pun menjadi sesuatu yang merugikan bagi beberapa masyarakat, maka dari itu kemajuan teknologi informasi dapat juga menghasilkan suatu reaksi negative berupa serangan balik yaitu sikap anti teknologi (Nasution, 1989 ; 119). Hal ini terlihat seperti sekarang ini di Indonesia, yang cenderung ketimuran. Salah satu organisasi sosial dengan berbasis budaya Islam, yaitu MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa terhadap satu jaringan sosial di dunia maya yang dikenal dengan facebook. Hal ini dianggap menghilangkan budaya-budaya ketimuran yang memperlihatkan interaksi sosial secara fisik, serta jaringan sosial ini dianggap memberikan nilai-nilai buruk bagi masyarakat.
Akan tetapi teknologi informasi dan komunikasi tidak hanya memberikan hal yang berdampak negatif. Teknologi komunikasi merupakan suatu alat untuk menambah kemampuan orang berkomunikasi, yang memungkinkan terjadinya :
· Hubungan antar individu di daerah/Negara lain dengan cepat.
· Penyaluaran aspirasi dan ekspresi yang menjadikan setiap orang akrab satu sama lain.
· Memberikan kemudahan untuk mengakses hasil-hasil kebudayaan yang muncul di berbagai daerah/Negara.
· Peningkatan partisipasi mereka dalam kehidupan social-politik yang menyangkut seluruh daerah/Negara.
(Abran, 2003 : 1-10)
Teknologi informasi bisa memberikan nilai-nilai positif bagi masyarakat. Ketika kita membuka situs google maka kita dapat mengakses berbagai informasi yang bisa kita cari guna memberikan pengetahuan bagi kita. Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
5.2 Hukum dan perubahan sosial.
Hukum merupakan perwujudan dari suatu dorongan tertentu, yang menimbulkan perilaku tertentu pula. Dengan demikian, maka mereka mengartikan hukum sebagai perilaku, yakni perilaku yang teratur ataupun pola perilaku. (Soerjono Soekanto, 1984 ; 164)
Hukum dibuat oleh suatu kekuasaan, baik kekuasaan yang absolute maupun oleh orang/lembaga yang mempunyai wewenang. Ketika ada suatu pelencengan perilaku dalam sebuah kekuasaan, maka si pemegang kekuasaan akan membuat/memberlakukan suatu hukum. Dibentuknya suatu hukum dikarenakan adanya dorongan dari berbagai aspek. Seperti penelitian yang ditujukan ini. Teknologi yang menyebabkan adanya perilaku-perilaku baru yang dianggap merugikan di Indonesia. Maka dari itu lembaga pemegang wewenang yaitu DPR RI membuat suatu hukum baru yang mencakup akan perilaku-perilaku baru tersebut, yaitu dengan dibuatnya UU ITE No.11 tahun 2008.
Proses terjadinya perubahan-perubahan pada masyarakat di dunia pada dewasa ini merupakan suatu gejala yang normal yang pengaruhnya menjalar dengan cepat kebagian-bagian lain dari dunia, antara lain berkat adanya komunikasi modern dengan taraf teknologi yang berkembang dengan pesatnya. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, terjadi suatu revolusi, modernisasi pendidikan dan lain-lain kejadian yang di suatu tempat dengan cepat dapat diketahui oleh masyarakat-masyarakat lain yang bertempat tinggal jauh dari pusta terjadinya peristiwa tersebut di atas. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku, organisasi, struktur lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan, interaksi sosial dan lain sebagainya.
Para sarjana sosiologi pernah mengadakan suatu klasifikasi antara masyarakat yang statis dengan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang statis dimaksudkan sebagai suatu masyarakat dimana terjadinya perubahan-perubahan secara relatif sedikit sekali, sedangkan perubahan-perubahan tadi berjalan dengan lambat. Masyarakat yang dinamis merupakan masyarakat yang mengalami pelbagai perubahan-perubahan yang cepat. Memang, setiap masyarakat pada suatu masa dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan pada masa lainnya dianggap sebagai masyarakat yang dinamis. Perubahan-perubahan bukanlah semata-mata berarti suatu kemajuan belaka, akan tetapi dapat pula berarti suatu kemunduran dari masyarakat yang berangkutan yang menyangkut bidang-bidang tertentu. (Artikel Muliadi Nur: Hukum dan perubahan sosial)
Sebagai suatu pedoman menurut Selo Soemardjan (1962:379), bahwa kiranya dapatlah dirumuskan bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga sosial di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari perumusan tersebut kiranya menjadi jelas bahwa tekanan diletakkan pada lembaga-lembaga sosial sebagai himpunan kaidah-kaidah dari segala tingkatan yang berkisar pada kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, perubahan-perubahan mana kemudian mempengaruhi segi-segi lainnya dari struktur masyarakat.
Menurut Muliadi Nur, dalam artikelnya yang berjudul “Hukum dan Perubahan Sosial”, menjelaskan tentang proses-proses hukum dan perubahan sosial serta hubungan antara hukum dan perubahan sosial.
· Proses perubahan-perubahan sosial.
Adakalanya unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan, secara bersamaan mempengaruhi kaedah-kaedah dan nilai-nilai, yang kemudian berpengaruh pula terhadap para warga masyarakat. Hal ini dapat merupakan gangguan yang kontinu terhadap keseimbangan dalam masyarakat. Keadaan tersebut berarti bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan-kekecewaan di antara para warga masyarakat tidak mempunyai saluran yang menuju kearah suatu pemecahan. Apabila ketidak seimbangan tadi dapat dipulihkan kembali melalui suatu perubahan, maka keadaan tersebut dinamakan penyesuaian (adjustment); apabila terjadi keadaan yang sebaliknya, maka terjadi suatu ketidak sesuaian (maladjustment).
Suatu perbedaan dapat diadakan antara penyesuaian diri lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan penyesuaian diri para warga masyarakat secara individual. Yang pertama menunjuk pada suatu keadaan dimana masyarakat berhasil menyesuaikan lembaga-lembaga kemasyarakatan pada kondisi yang tengah mengalami perubahan-perubahan, sedangkan yang kedua menunjuk pada orang-orang secara individual yang berusaha untuk menyesuaikan dirinya pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah diubah atau diganti, agar supaya yang bersangkutan terhindar disorganisasi kejiwaan.
Di dalam proses perubahan-perubahan sosial dikenal pula saluran-salurannya yang merupakan jalan yang dilalui oleh suatu perubahan, yang pada umumnya merupakan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pokok dalam masyarakat. Lembaga-lembaga kemasyarakatan mana yang merupakan lembaga terpokok, tergantung pada fokus sosial masyarakat dan pemuka-pemukanya pada suatu masa tertentu. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian tertinggi dari masyarakat, cenderung untuk menjadi sumber atau saluran utama dari perubahan-perubahan sosial. Perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut akan membawa akibat pada lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya, oleh karena lembaga-lembaga tersebut merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang merupakan suatu konstruksi dengan pola-pola tertentu serta keseimbangan yang tertentu pula. Apabila hubungan antara lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi ditinjau dari sudut aktivitasnya, maka kita akan berurusan dengan fungsinya. Sebenarnya fungsi tersebut lebih penting oleh karena hubungan antara unsur-unsur masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu hubungan fungsional.
· Proses perubahan-perubahan hukum
Suatu pertentangan antara mereka yang menganggap bahwa hukum harus mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya dan mereka yang berpendapat bahwa hukum merupakan alat untuk merubah masyarakat, telah berlangsung sejak lama dan merupakan masalah yang penting dalam sejarah perkembangan hukum. Kedua faham tersebut bolehlah dikatakan masing-masing diwakili oleh Von Savigny dan Bentham. Bagi Von Savigny yang dengan gigihnya membendung datangnya hukum Romawi, maka hukum tidaklah dibentuk akan tetapi harus diketemukan. Apabila adat istiadat telah berlaku secara mantap, maka barulah pejabat-pejabat hukum mensyahkannya sebagai hukum.
Sebaliknya, Bentham adalah seorang penganut dari faham yang menyatakan bahwa mempergunakan hukum yang telah dikonstruksikan secara rasionil, akan dapat diadakan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Suatu teori yang sejalan dengan pendapat Von Savigny, penah dikembangkanoleh seorang yuris Austria yang bernama Eugen Ehrlich. Ehrlich membedakan antara hukum yang hidup yang didasarkan pada perikelakuan sosial, dengan hukum memaksa yang berasal dari negara. Dia menekankan bahwa hukum yang hidup lebih penting daripada hukum negara yang ruang lingkupnya terbatas pada tugas-tugas negara. Padahal hukum yang hidup mempunyai ruang lingkup yang hampir mengatur semua aspek kehidupan bersama dari masyarakat. Dari penjelasannnya di atas jelas terlihat bahwa Ehrlich pun menganut faham bahwa perubahan-perubahan hukum selalu mengikuti perubahan-perubahan sosial lainnya.
Di dalam suatu proses perubahan hukum, maka pada umumnya dikenal adanya tiga badan yang dapat merubah hukum, yaitu badan-badan pembentuk hukm, badan-badan penegak hukum dan badan-badan pelaksana hukum. Adanya badan-badan pembentuk hukum yang khusus, adanya badan-badan peradilan yang menegakkan hukum serta adanya badan-badan yang menjalankan hukum, merupakan ciri-ciri yang terutama terdapat pada negara-negara modern. Pada masyarakat sederhana mungkin hanya ada satu badan yang melaksanakan ketiga fungsi tersebut. Akan tetapi baik pada masyarakat modern ataupun sederhana, ketiga fungsi tersebut dijalankan dan merupakan saluran-saluran melalui mana hukum mengalami perubahan-perubahan.
· Hubungan antara hukum dengan perubahan-perubahan sosial
Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari berbagai lembaga kemasyarakatan yang saling pengaruh-mempengaruhi, dan susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan tadi didasarkan pada suatu pola tertentu. Suatu perubahan sosial biasanya dimulai pada suatu lembaga kemasyarakatan tertentu dan perubahan tersebut akan menjalar ke lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
S.F. Kechekyan (1956) menguraikan suatu gambaran yang cukup lengkap tentang fungsi hukum di Soviet Rusia, di satu fihak ia mengakui bahwa hukum dibentuk oleh negara dimana hukum tersebut merupakan ekspressi keinginan-keinginan elit politik dan ekonomi. Oleh karena itu hukum terikat oleh kondisi-kondisi sistem ekonomi yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perubahan-perubahan dalam hukum banyak tergantung pada perkembangan-perkembangan dalam produksi dan hubungan antar kelas dalam masyarakat, akan tetapi di lain pihak dia pun mengakui beberapa peranan hukum yang kreatif, namun sudah barang tentu tidak semua usaha-usaha penggunaan hukum untuk sosial engineering berakhir dengan hasil-hasil yang diingini. Berkenaan dengan di atas Arnold M. Rose berasumsi bahwa efektivitas penggunaan hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat masih terbatas.
5.3 Teori-teori perilaku
· Teori Festinger (Dissonance Theory)
Finger (1957) ini telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu maka berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena dalam diri individu terdapat 2 elemen kognisi yang saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus atau objek dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang berbeda / bertentangan didalam diri individu sendiri maka terjadilah dissonance.
Sherwood dan Borrou merumuskan dissonance itu sebagai berikut :
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif dissonance
Dissonance = ---------------------------------------------------------------
Pentingnya stimulus x jumlah kognitif consonance
Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan dalam diri seseorang yang akan menyebabkan perubahan perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan jumlah elemen kognitif yang seimbang dengan jumlah elemen kognitif yang tidak seimbang serta sama-sama pentingnya. Hal ini akan menimbulkan konflik pada diri individu tersebut.
Contoh : Seorang ibu rumah tangga yang bekerja di kantor. Di satu pihak, dengan bekerja ia dapat tambahan pendapatan bagi keluarganya yang akhirnya dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi. Apabila ia tidak bekerja, jelas tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Di pihak yang lain, apabila ia bekerja, ia kuatir terhadap perawatan terhadap anak-anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen (argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang baik.
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah penyesuaian diri secara kognitif. Dengan penyesuaian diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali. Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini menunjukkan adanya perubahan sikap dan akhirnya akan terjadi perubahan perilaku.
· Teori Fungsi, Katz
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu itu tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz (1960) perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan. Katz berasumsi bahwa :
a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya dapat berfungsi dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak (berperilaku) positif terhadap objek demi pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek tidak dapat memenuhi memenuhi kebutuhannya maka ia akan berperilaku negative. Contoh; orang ingin mengkonsumsi informasi dari internet, karena internet sudah menjadi kebutuhan bagi orang itu
b. Perilaku dapat berfungsi sebagai defence mecanism atau sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang datang dari luar. Misalnya orang dapat menghindari penyakit demam berdarah karena penyakit tersebut merupakan ancaman bagi dirinya.
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan memberikan arti. Dalam peranannya dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah melakukan keputusan-keputusan sehubungan dengan objek atau stimulus yang dihadapi.
Pengambilan keputusan yang mengakibatkan tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya bila seseorang merasa sakit kepala maka secara cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-tindakan lain.
d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh sebab itu perilaku itu dapat merupakan "layar" dimana segala ungkapan diri orang dapat dilihat. Misalnya orang yang sedang marah, senang, gusar, dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau tindakannya.
Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan berubah secara relatif.
· Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990).
6. Kerangka pemikiran
Pada hakekatnya suatu masyarakat selalu berevolusi serta survive terhadap perubahan-perubahan zaman. Masyarakat tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek, ilmu pengetahuan misalnya. Berkembangnya ilmu pengetahuan pada masyarakat menimbulkan berbagai macam temuan-temuan dalam bidang teknologi. Temuan-temuan teknologi ini mencakup berbagai teknologi guna membantu/menunjang kehidupan manusia. Teknologi dalam informasi saat ini khususnya berkembang secara pesat ini terlihat dari berbagai macam teknologi-teknologi informasi yang tiap tahunnya selalu mengemas teknologi yang lebih canggih dari sebelum-sebelumnya. Internet merupakan salah satu temuan dari teknologi informasi. Perkembangan dalam dunia internet telah memberikan kontribusi yang besar pada setiap masyarakat. Saat ini pengguna internet mencapai tingkat yang sangat tinggi ini terlihat jelas pada data statistik di atas. Hal ini terjadi karena internet menyajikan informasi-informasi yang sangat besar, serta memberikan fitur-fitur yang dibutuhkan oleh para konsumen.
Hal ini menjadikan internet seperti dunia tanpa batas, yang tiap detiknya selalu memberikan informasi-informasi baru. Maka dari itu banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia internet. Ini terjadi bahwa internet seperti dunia tanpa sensor, banyak fitur-fitur porno yang hadir didalamnya, ataupun informasi-informasi lainya yang bisa memberikan moral yang buruk pada penggunanya. Internet pun bisa menjadi ajang mencari keuntungan secara illegal, seperti transaksi elektronik (e-commerce) dengan menggunakan kartu kredit yang bukan haknya. Banyak sekali hal-hal yang buruk terjadi. Maka dari itu khususnya di Indonesia, pemerintah membuat hukum baru yang menjerat tindakan-tindakan melawan hukum dalam teknologi informasi. Hukum baru tersebut ialah undang-undang No.11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik. Hukum ini mencakup kejahatan-kejahatan dalam dunia siber (cyberspace).
Dengan adanya undang-undang tersebut serta pemahaman terhadap teori perubahan sosial dan perubahan perilaku maka menurut saya akan terjadi sebuah perubahan perilaku yang biasa dilakukan oleh para pengguna teknologi informasi. Hal ini dikarenakan bahwa para pengguna merasa takut terjerat oleh pasal yang berlaku dalam UU RI tersebut. Misalnya : sebelum adanya UU ITE tersebut para pengguna internet dengan bebas membuka fitur-fitur porno, serta mendownload berbagai file yang dianggap dilarang, ataupun para hacker yang selalu berupaya menjebol sistem kemanan suatu lembaga atau perorangan dan banyak lagi hal lainya yang dianggap merugikan. Namun setelah adanya UU ITE yang mencakup hal-hal tersebut maka dengan itu para pengguna internet berhati-hati dalam menggunakan internet.
Dari contoh tersebut maka dugaan sementaranya (hipotesis) adalah bahwa telah terjadi perubahan perilaku pada pemakaian internet setelah pemerintah memberlakukan undang-undang tersebut.Namun tidak semua elemen masyarakat mengetahui isi serta pemahaman dari UU ITE tersebut, maka dari itu pemerintahlah yang harus memberikan sosialisasi terhadap UU tersebut agar semua elemen masyarakat mengetahui serta memahami UU tersebut.
Didasari keingintahuan tersebut maka penelitian ini ditujukan untuk mencari kebenaran atas hipotesis yang telah dibangun dengan fakta yang sebenarnya terjadi pada pemakaian internet.
7. Daftar Pustaka
Muliadi Nur , (2008). http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/hukum-perubahan-sosial.html
Festinger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Stanford, CA: Stanford University Press.
Widodo, A. (2006) Perilaku Manusia,
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi ke 4. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1990.
Poloma, Margareth. M. Sosiologi Kontemporer. Edisi 1. Cet. ke 6. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Sitompil, Asril. Hukum Internet. Bandung : PT Citra Aditiya Bakti. 2001
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.
http://www.etymonline.com/
http://www.google.co.id/
Diposkan oleh Egi Nugraha di 01:22
Label: Research
Comment
0 Comment:
Poskan Komentar
Posting Lama Beranda
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
UU ITE (Tidak) Ramah Facebook?
Sumber:http://kuhpreform.wordpress.com/2008/12/10/uu-ite-tidak-ramah-facebook/
Diterbitkan Desember 10, 2008 Berita Hukum Pidana 1 Comment
Oleh: Amrie Hakim *)
[5/12/08]
“Sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik, maka dengan adanya kesepakatan anda dan saya dengan cara meng-klik menerima [accept] maka segala sesuatu info elektronik yang Anda peroleh baik langsung atau tidak langsung melalui facebook kami, Anda menyetujui bahwa segalanya tidak memiliki pembuktian hukum yang sempurna, namun semata-mata hanya sebagai alat/media untuk membina keakraban belaka.”
Begitu antara lain secuplik catatan milik seorang advokat yang dimuat dalam profilnya di Facebook, situs jejaring sosial yang sedang populer. Disengaja atau tidak, catatan yang dibuat Robaga G. Simajuntak tersebut menjadi semacam pernyataan penyangkalan (disclaimer) dari dia sebagai pengguna Facebook. Catatan kecil tersebut cukup menarik untuk dicermati karena menggambarkan ekspresi salah satu pengguna internet terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang relatif baru.
Melalui artikel ini kita akan sedikit mencari tahu pengaturan yang mana dan seperti apa dalam UU ITE yang mendorong pengguna internet, sekalipun untuk keperluan hiburan, menjadi (perlu) makin berhati-hati? Apakah antisipasi seperti di atas perlu juga dilakukan oleh pengguna internet lainnya di Indonesia guna terhindar dari potensi jeratan hukum?
Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian diundangkan 21 April 2008 silam, UU ITE sudah disambut pro dan kontra. Dukungan dan penolakan UU ITE juga disuarakan oleh publik, terutama para blogger Indonesia. Suara yang mendukung UU ITE mengatakan kurang lebih bahwa undang-undang tersebut merupakan gebrakan dalam hukum Indonesia. Undang-Undang ITE dilihat sebagai produk hukum yang cukup berani untuk mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Demikian antara lain pendapat Robaga G. Simanjuntak, advokat-blogger.
Sementara, mereka yang menolak UU ITE pada umumnya keberatan dengan sebagian substansinya yang dinilai berpotensi mengancam hak kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Karena itu advokat-blogger lainnya, Anggara, dalam salah artikelnya menyatakan di antaranya “UU ITE jelas merupakan ancaman serius bagi blogger Indonesia”.
Di mata Anggara, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa blogger di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan dan/atau pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)], dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28 ayat (2)].
Tentang “..membuat dapat diaksesnya..”
Lepas dari berbagai pendapat di atas, substansi tertentu di dalam UU ITE boleh jadi memang perlu mendapat perhatian serius dari para pengguna internet pada umumnya, tidak hanya blogger. Khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ada tiga unsur yang dikandung Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu (1) unsur setiap orang; (2) unsur dengan segaja dan tanpa hak; serta (3) unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diketahui bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas. Bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya. Walaupun di sisi lain, dalam UU ITE juga dinyatakan bahwa suatu informasi/dokumen elektronik tidak dengan serta-merta atau otomatis akan menjadi suatu bukti yang sah. Pasalnya, untuk menentukan apakah informasi/dokumen eletronik dapat menjadi alat bukti yang sah masih memerlukan suatu prosedur tertentu yaitu harus melalui ”sistem elektronik” yang diatur berdasarkan undang-undang tersebut.
Sampai di sini, jelas terbaca bahwa UU ITE meletakkan beban pembuktian pada pihak yang (diduga) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sekalipun, informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (termasuk di dalamnya informasi berupa taut ke satu atau lebih situs lain) yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut bersumber bukan dari pengelola/pemilik blog/situs web yang bersangkutan, atau bahwa informasi tersebut bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain.
Layanan komputer yang sifatnya interaktif
Secara sederhana dapat dikatakan, UU ITE tidak peduli apakah sebuah informasi elektronik yang bermuatan penghinaan yang ”dapat diakses” pada sebuah situs web atau blog itu bersumber atau dibuat oleh pemilik atau pengelola situs web atau blog yang bersangkutan. Selain itu, UU ITE juga tidak membeda-bedakan antara penyedia/pengguna layanan komputer (yang sifatnya) interaktif (seperti halnya Facebook, blog serta situs web interaktif sejenis) dengan yang non-interaktif (satu arah).
Dengan demikian, di bawah rezim UU ITE, seorang tersangka/terdakwa kelak harus membuktikan, misalnya, bahwa ia tidak mengetahui bahwa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat di situs web atau blognya mengandung konten penghinaan atau pencemaran nama baik. Atau bahwa konten yang diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu merupakan informasi yang bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain ke dalam situs web/blog yang bersangkutan. Hal yang sama juga dianut peraturan perundang-undangan sejenis di Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Namun, hal demikian tidak terjadi di Amerika Serikat. Section 230 Communications Decency Act memberikan kekebalan hukum (immunity) bagi penyedia ataupun pengguna “layanan komputer interaktif” (interactive computer service) yang menyiarkan informasi yang disiarkan/dibuat oleh pihak lain: “No provider or user of an interactive computer service shall be treated as the publisher or speaker of any information provided by another information content provider.”
Kasus MySpace
Dalam Wikipedia diuraikan bahwa sebelum menentukan apakah kekebalan dalam ketentuan Section 230 dapat diterapkan, pada umumnya pengadilan menguji tiga unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut. Terdakwa harus setiap unsur berikut untuk dapat memperoleh kekebalan: (1) Tergugat harus merupakan “penyedia atau pengguna” dari suatu “layanan komputer interaktif”; (2) Sebab dari perbuatan yang dipersoalkan oleh penggugat harus “memperlakukan” tergugat “sebagai penyiar atau pembicara” dari informasi ofensif tersebut; dan (3) Informasi terkait harus “disediakan oleh penyedia konten informasi lainnya”, misalnya tergugat harus bukan merupakan “penyedia konten informasi” dari informasi ofensif tersebut.
Salah satu kasus terkenal seputar kekebalan hukum yang dipayungi Section 230 adalah Doe v. MySpace, 474 F.Supp.2d 843 (W.D. Tex. Feb. 13, 2007). Dalam kasus tersebut MySpace, sebuah situs jejaring sosial sejenis Facebook, dinyatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum melakukan kelalaian dan kelalaian berat karena gagal membuat langkah-langkah keselamatan untuk mencegah serangan seksual terhadap anak di bawah umur dan kegagalan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan verifikasi usia.
Perbandingan dengan ketentuan Section 230 Communications Decency Act milik AS seperti di atas boleh jadi cukup relevan untuk disampaikan dalam artikel ini. Pasalnya, sejak era Web 2.0 yang dimulai kurang lebih empat tahun silam, hampir seluruh layanan internet yang ada disajikan secara/dengan fitur interaktif. Pengguna internet tidak hanya berhenti sebagai pembaca sebuah konten informasi dalam sebuah situs web/blog, tapi juga ikut membuat/menambah informasi yang disajikan/dibuat oleh penyedia layanan internet. Oleh karena itu, patut dipertanyakan mengapa para penyusun UU ITE tidak mengakomodasi tren di atas ke dalam muatan undang-undang itu.
Meski begitu, UU ITE sejauh ini berhasil menancapkan rasa kehati-hatian kepada para pengguna internet dalam arti yang sangat luas (mencakup pula para penyedia layanan internet tanpa kecuali). Apalagi, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU ITE keberlakuan undang-undang tersebut menjangkau warga Indonesia dan warga asing yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar yurisdiksi (jurisdiction) hukum nasional (kekebalan yang diperoleh MySpace bisa tidak berlaku di hadapan UU ITE).
Pasca diundangkannya UU ITE para pengguna internet sepertinya makin menyadari pentingnya membuat pernyataan penyangkalan situs web/blog atau layanan internet lainnya yang mereka kelola, sebagai bagian dari rasa kehati-hatian itu. Sejauh ini belum dapat dibuktikan apakah atau sejauh mana sebuah pernyataan penyangkalan dapat membebaskan seseorang dari jerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas. Padahal, ancaman hukuman atas pelanggaran pasal tersebut sangat serius yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Tidak peduli, kita menggunakan internet untuk hal yang serius atau sekadar, katakanlah, ber-Facebook ria.
Diterbitkan Desember 10, 2008 Berita Hukum Pidana 1 Comment
Oleh: Amrie Hakim *)
[5/12/08]
“Sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik, maka dengan adanya kesepakatan anda dan saya dengan cara meng-klik menerima [accept] maka segala sesuatu info elektronik yang Anda peroleh baik langsung atau tidak langsung melalui facebook kami, Anda menyetujui bahwa segalanya tidak memiliki pembuktian hukum yang sempurna, namun semata-mata hanya sebagai alat/media untuk membina keakraban belaka.”
Begitu antara lain secuplik catatan milik seorang advokat yang dimuat dalam profilnya di Facebook, situs jejaring sosial yang sedang populer. Disengaja atau tidak, catatan yang dibuat Robaga G. Simajuntak tersebut menjadi semacam pernyataan penyangkalan (disclaimer) dari dia sebagai pengguna Facebook. Catatan kecil tersebut cukup menarik untuk dicermati karena menggambarkan ekspresi salah satu pengguna internet terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang relatif baru.
Melalui artikel ini kita akan sedikit mencari tahu pengaturan yang mana dan seperti apa dalam UU ITE yang mendorong pengguna internet, sekalipun untuk keperluan hiburan, menjadi (perlu) makin berhati-hati? Apakah antisipasi seperti di atas perlu juga dilakukan oleh pengguna internet lainnya di Indonesia guna terhindar dari potensi jeratan hukum?
Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian diundangkan 21 April 2008 silam, UU ITE sudah disambut pro dan kontra. Dukungan dan penolakan UU ITE juga disuarakan oleh publik, terutama para blogger Indonesia. Suara yang mendukung UU ITE mengatakan kurang lebih bahwa undang-undang tersebut merupakan gebrakan dalam hukum Indonesia. Undang-Undang ITE dilihat sebagai produk hukum yang cukup berani untuk mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Demikian antara lain pendapat Robaga G. Simanjuntak, advokat-blogger.
Sementara, mereka yang menolak UU ITE pada umumnya keberatan dengan sebagian substansinya yang dinilai berpotensi mengancam hak kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Karena itu advokat-blogger lainnya, Anggara, dalam salah artikelnya menyatakan di antaranya “UU ITE jelas merupakan ancaman serius bagi blogger Indonesia”.
Di mata Anggara, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa blogger di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan dan/atau pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)], dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28 ayat (2)].
Tentang “..membuat dapat diaksesnya..”
Lepas dari berbagai pendapat di atas, substansi tertentu di dalam UU ITE boleh jadi memang perlu mendapat perhatian serius dari para pengguna internet pada umumnya, tidak hanya blogger. Khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ada tiga unsur yang dikandung Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu (1) unsur setiap orang; (2) unsur dengan segaja dan tanpa hak; serta (3) unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diketahui bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas. Bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya. Walaupun di sisi lain, dalam UU ITE juga dinyatakan bahwa suatu informasi/dokumen elektronik tidak dengan serta-merta atau otomatis akan menjadi suatu bukti yang sah. Pasalnya, untuk menentukan apakah informasi/dokumen eletronik dapat menjadi alat bukti yang sah masih memerlukan suatu prosedur tertentu yaitu harus melalui ”sistem elektronik” yang diatur berdasarkan undang-undang tersebut.
Sampai di sini, jelas terbaca bahwa UU ITE meletakkan beban pembuktian pada pihak yang (diduga) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sekalipun, informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (termasuk di dalamnya informasi berupa taut ke satu atau lebih situs lain) yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut bersumber bukan dari pengelola/pemilik blog/situs web yang bersangkutan, atau bahwa informasi tersebut bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain.
Layanan komputer yang sifatnya interaktif
Secara sederhana dapat dikatakan, UU ITE tidak peduli apakah sebuah informasi elektronik yang bermuatan penghinaan yang ”dapat diakses” pada sebuah situs web atau blog itu bersumber atau dibuat oleh pemilik atau pengelola situs web atau blog yang bersangkutan. Selain itu, UU ITE juga tidak membeda-bedakan antara penyedia/pengguna layanan komputer (yang sifatnya) interaktif (seperti halnya Facebook, blog serta situs web interaktif sejenis) dengan yang non-interaktif (satu arah).
Dengan demikian, di bawah rezim UU ITE, seorang tersangka/terdakwa kelak harus membuktikan, misalnya, bahwa ia tidak mengetahui bahwa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat di situs web atau blognya mengandung konten penghinaan atau pencemaran nama baik. Atau bahwa konten yang diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu merupakan informasi yang bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain ke dalam situs web/blog yang bersangkutan. Hal yang sama juga dianut peraturan perundang-undangan sejenis di Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Namun, hal demikian tidak terjadi di Amerika Serikat. Section 230 Communications Decency Act memberikan kekebalan hukum (immunity) bagi penyedia ataupun pengguna “layanan komputer interaktif” (interactive computer service) yang menyiarkan informasi yang disiarkan/dibuat oleh pihak lain: “No provider or user of an interactive computer service shall be treated as the publisher or speaker of any information provided by another information content provider.”
Kasus MySpace
Dalam Wikipedia diuraikan bahwa sebelum menentukan apakah kekebalan dalam ketentuan Section 230 dapat diterapkan, pada umumnya pengadilan menguji tiga unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut. Terdakwa harus setiap unsur berikut untuk dapat memperoleh kekebalan: (1) Tergugat harus merupakan “penyedia atau pengguna” dari suatu “layanan komputer interaktif”; (2) Sebab dari perbuatan yang dipersoalkan oleh penggugat harus “memperlakukan” tergugat “sebagai penyiar atau pembicara” dari informasi ofensif tersebut; dan (3) Informasi terkait harus “disediakan oleh penyedia konten informasi lainnya”, misalnya tergugat harus bukan merupakan “penyedia konten informasi” dari informasi ofensif tersebut.
Salah satu kasus terkenal seputar kekebalan hukum yang dipayungi Section 230 adalah Doe v. MySpace, 474 F.Supp.2d 843 (W.D. Tex. Feb. 13, 2007). Dalam kasus tersebut MySpace, sebuah situs jejaring sosial sejenis Facebook, dinyatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum melakukan kelalaian dan kelalaian berat karena gagal membuat langkah-langkah keselamatan untuk mencegah serangan seksual terhadap anak di bawah umur dan kegagalan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan verifikasi usia.
Perbandingan dengan ketentuan Section 230 Communications Decency Act milik AS seperti di atas boleh jadi cukup relevan untuk disampaikan dalam artikel ini. Pasalnya, sejak era Web 2.0 yang dimulai kurang lebih empat tahun silam, hampir seluruh layanan internet yang ada disajikan secara/dengan fitur interaktif. Pengguna internet tidak hanya berhenti sebagai pembaca sebuah konten informasi dalam sebuah situs web/blog, tapi juga ikut membuat/menambah informasi yang disajikan/dibuat oleh penyedia layanan internet. Oleh karena itu, patut dipertanyakan mengapa para penyusun UU ITE tidak mengakomodasi tren di atas ke dalam muatan undang-undang itu.
Meski begitu, UU ITE sejauh ini berhasil menancapkan rasa kehati-hatian kepada para pengguna internet dalam arti yang sangat luas (mencakup pula para penyedia layanan internet tanpa kecuali). Apalagi, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU ITE keberlakuan undang-undang tersebut menjangkau warga Indonesia dan warga asing yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar yurisdiksi (jurisdiction) hukum nasional (kekebalan yang diperoleh MySpace bisa tidak berlaku di hadapan UU ITE).
Pasca diundangkannya UU ITE para pengguna internet sepertinya makin menyadari pentingnya membuat pernyataan penyangkalan situs web/blog atau layanan internet lainnya yang mereka kelola, sebagai bagian dari rasa kehati-hatian itu. Sejauh ini belum dapat dibuktikan apakah atau sejauh mana sebuah pernyataan penyangkalan dapat membebaskan seseorang dari jerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas. Padahal, ancaman hukuman atas pelanggaran pasal tersebut sangat serius yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Tidak peduli, kita menggunakan internet untuk hal yang serius atau sekadar, katakanlah, ber-Facebook ria.
Polemik Dan Kontroversi UU-ITE
Sumber:http://www.binushacker.net/polemik-dan-kontroversi-uu-ite.html
17 June 2009
Penulis: UtuH · Kategori Artikel: News
Binus Hacker Sponsor Banner
Berikut ini Kontroversi dan Polemik UU-ITE
Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media), dimana pada awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik seperti transaksi keuangan via ponsel, dari mulai saat memasukkan password, melakukan transaksi keuangan, sampai bagaimana pesan itu sampai ke recipient yang dituju. Kepastian hukum ini diperlukan untuk para stakeholder terkait di dalamnya, mulai dari operator seluler, penyedia service transaksi keuangan tersebut, bank dimana sang nasabah menyimpan uangnya, sampai ke bank dimana recipient menjadi nasabahnya (yang mungkin saja berbeda dengan bank si sender).
image
Gambar 1. UU ITE sebagai konsekuensi dari sebuah skema konvergensi teknologi dan hukum
UU ITE ini diterbitkan per tanggal 25 Maret 2008 lalu oleh pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dengan cakupan materi yang cukup komprehensif (gambar 2). Didahului dengan berbagai pertimbangan yang mendasari dibuatnya undang-undang ini, penekanan terhadap globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
image
Gambar 2. Cakupan Materi UU ITE
Pemerintah mengklaim bahwa UU ini sudah mengakomodasi berbagai masukan dari para stakeholder terkait, dan sudah pula mengacu kepada aturan internasional seperti Brussels Convention on Online Transaction 2002, United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (UE), APEC, ASEAN, dan OECD. Namun dalam proses pengerjaannya sampai selesai saat inipun masih ada sebagian kalangan menentangnya bahkan menginginkan judicial review.
Sebelum membahas lebih jauh tentang hal-hal yang masih dipermasalahkan, ada baiknya dipahami dulu tentang apa itu tandatangan elektronik dan apa itu sertifikat elektronik, yang selalu disebut-sebut dalam sebagian pasal pada UU tersebut.
Tandatangan Elektronik
Proses terjadinya tandatangan elektronik (TE) dimulai dengan suatu pesan asli yang dimasukkan dalam suatu fungsi Hash sehingga menghasilkan suatu message digest. Message digest ini sama dengan suatu “sidik jari” sehingga jika ada perubahan sekecil apapun dari message digest ini maka message asli tidak akan dapat direproduksi lagi karena “sidik jari” telah berubah.
image
Gambar 3. Mekanisme Tandatangan Elektronik
Dari gambar tersebut maka yang disebut dengan TE adalah Message Digest yang telah ditandatangani menggunakan private key. Selanjutnya recipient ketika menerima “plain text + tandatangan” akan memisahkan antara “plain text” dengan “tandatangan”.
Bagian “tandatangan“ tadi akan dibuka menggunakan public key yang dimiliki recipient sehingga menjadi message digest (sebut saja message digest A), lalu “plain text” tadi akan dimasukkan ke fungsi Hash yang sama dengan sender, maka muncullah “message digest” kedua (sebut saja message digest B). Maka kedua message digest A dan B ini lalu dibandingkan. Jika sama, berarti tidak ada perubahan dalam proses pengiriman sampai ke recipient.
Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik
Identifikasi penandatangan suatu dokumen elektronik bukan hal mudah. Jika suatu proses penandatanganan dokumen ini diragukan, maka keabsahannya bisa hilang. Karenanya, agar menjadi dokumen yang dapat dipercaya dan sah secara hukum, maka diperlukan bantaun pihak ketiga yang disebut dengan Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSE) atau Certificate Authority (CA). CA akan membantu untuk identifikasi penandatanganan dan membantu menghubungkan antara kunci publik dengan subyek hukumnya.
Jika subyek hukum tersebut adalah X, maka X akan meregister kunci publiknya terlebih dulu kepada suatu PSE. Lalu PSE ini akan membuatkan suatu sertifikast elektronik yang merupakan hasil “binding” antara X dengan kunci publiknya. Jadi sertifikat elektronik ini sebenarnya berisi kunci publik X yang dioperasikan secara AND dengan kunci publik X yang sudah ditandatangani oleh PSE.
image
Gambar 4. Proses pembentukan sertifikat elektronik oleh PSE
Dengan demikian jika pengguna Y ingin membuka dokumen elektronik dari pengguna X tadi, maka pengguna Y harus terlebih dulu mendapatkan sertifikat elektronik X. Lalu dengan menggunakan kunci publik dari PSE, maka tandatangan digital (dari PSE) yang ada di dalam sertifikat X akan dapat dibuka. Dengan demikian maka kini kunci publik X bisa didapatkan.
image
Gambar 5. Contoh sertifikat elektronik dan beberapa isinya
Peluang dan Kontroversi
Peluang yang dapat diambil dengan kehadiran UU ITE ini adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaran Sistem Elektronik (Certificate Authority / CA) diharuskan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia (pasal 13 sampai 16). CA dari luar negeri yang terkenal seperti Verisign dan Geotrust dianggap tidak memiliki cukup informasi untuk melakukan verifikasi terhadap identitas seseorang di dalam Indonesia. Ini memberi peluang bagi bisnis baru di Indonesia. Juga dalam hal audit kehandalan atau kesesuaian yang meliputi banyak paramater, dari manajemen umum, kebijakan, manajemen resiko, otentikasi, otorisasi, pengawasan, ekpertise yang memadai, dll. Sebagian besar UU ini memang mengatur Infrastruktur Kunci Publik (Public Key Infrastructure/PKI). Untuk diketahui pada tahun 2006 sudah diterbitkan Peraturan Menkominfo 29/PERM/M.KOMINFO/11/2006 tentang pengorganisasian, pengawasan, dan pengamanan infrastruktur CA ini.
1. UU ini dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan. Aksi membobol sistem pihak lain (cracking) kini dilarang secara eksplisit. Pencegahan terhadap sabotase terhadap perangkat digital dan jaringan data yang dapat mengganggu privasi seseorang membutuhkan suatu sistem security yang baik.
Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk menjadi praktisi keamanan jaringan. Jika seseorang tidak memanfaatkan internet untuk hal-hal negatif, tidak ada yang perlu ditakutkan dengan kehadiranUU ITE ini. Karenanya kekawatiran pengusaha Warnet sebenarnya tidak beralasan, mungkin dalam hal petunjuk pelaksanaannya saja yang memang belum jelas karena ada beberapa Peraturan di bawahnya yang belum selesai dibuat.
2. Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan hukum. Kini Tandatangan Elektronik sudah memiliki kekuatan hukum sehingga dianggap sama dengan tandatangan konvensional, sehingga alat bukti elektronik sudah diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP.
3. Kegiatan ekonomi bisa mendapatkan perlindungan hukum, misalnya E-tourism, E-learning, implementasi EDI, transaksi dagang via, sehingga jika ada yang melakukan pelanggaran akan bisa segera digugat berdasarkan pasal-pasal UU ITE ini. Hambatan pengurusan ekspor-import terkait dengan transaksi elektronik dapat diminimalkan, apalagi jika nantinya sudah kerjasama berupa mutual legal assistance sudah dapat terealisasikan.
4. Walaupun masih perlu ada Mutual Legal Assistance (MLA), UU ini sudah dibuat dengan menganut prinsip extra territorial jurisdiction sehingga kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dari luar Indonesia, akan bisa diadili dengan UU ini.
5. Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase.
6. UU ITE ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet (terlepas dari sisi negatifnya) untuk digunakan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Public awareness harus dibangun secara kontinyu, sehingga “bahasa” internet di Indonesia menjadi bahasa yang bermartabat. Tentu saja ini harus dibarengi dengan infrastruktur yang mumpuni untuk mengurangi dampak negatifnya. Pembentukan ID-SIRTI tampaknya sudah mengarah ke sana.
Di balik segala peluang tersebut, muncul banyak kontroversi yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE ini. Apa saja kelemahan yang menjadi dasar bagi para kalangan yang kontra terhadap kehadiran UU ITE ini ?
1. UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah
Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia.
2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Akhirnya dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. Lembaga sekuat KPK saja dalam hal penyadapan, misalnya, harus berhati-hati menggunakannya, jika tidak mau menuai kritikan dari para praktisi hukum.
Mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya.
Referensi
1. Edmon Makarim., S.Kom., S.H., LL.M, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE), Depkominfo, 2008
2. Cahyana Ahmadjayadi, Peran e-Government Untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik, Depkominfo, 2003
3. I Wayan “Gendo” Suardana, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi, 2008
4. M Jafar Elly, Mengoptimalkan UU ITE, Republika 17 April 2008
Source: http://makhdor.blogspot.com/2009/01/uu-ite-antara-peluang-dan-kontroversi_26.html
Dampak UU-ITE
Ihwal Penting dan Lemahnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Eklektronika (UU ITE), dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat.
TIM Kuasa Hukum Pemantau Kebebesan Pers, Jaringan Jurnalis Presstalk, Masyarakat Peduli Internet Sehat, Indocontent, selanjutnya menyebut diri TIM PEDULI KEPASTIAN HUKUM ICT (selanjutnya disingkat TIM saja) beralamat di Gd. Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, menyampaikan kepada publik:
Setelah melakukan verifikasi kepada Kadin Indonesia, termasuk ke komunitas online, seperti APWKOMITEL – - jaringan warnet seluruh Indonesia — UU ITE sangat dibutuhkan bagi kepastian transaksi elektronika, dengan berkembangnya perdagangan dunia maya, penggunaaan tanda-tangan digital, pembayaran mikro di dunia digital dan TIM sangat mendukung perihal ini.
Penggabungan payung makro, tanpa merinci ihwal penyalah-gunaan pemakaian komputer (Computer Offensive), yang murni kejahatan, seperti carding, cracking, spamming, pencurian data melalui pemakaian flash disk, penggandaan keping cakram data dan teknis lainnya, tidak mendapatkan muara nyata dalam UU ITE tersebut, dan perihal ini, jelas-jelas tindakan pidana, yang seharusnya mendapatkan porsi rinci.
UU ITE telah merambah ranah privat, publik, dengan muatan khusus di pasal 27, ayat 1 hingga ayat 3, dengan hukuman sangat tinggi dan denda besar mencapai miliaran; telah berimplikasi membawa kegelisahan, ketakutan, dan momok bagi publik.
Akibat UU ITE pasal 27 tersebut sudah mulai ditangkapi warnet yang tidak terbukti menyelenggarakan konten pornogafi, penangkapan orang yang menyampaikan fakta buruknya layanan kesehatan rumah sakit melalui milis, penginterogasian hingga ”menembak” tersangka jurnalis dan citizen reporter, yang kesemuanya dapat mengacu ke kaedah hukum di KUHP, plus di banyak negara sesungguhnya masuk ke ranah perdata.
Akibat butir 3 di atas, UU ITE bukan memberikan kepastian hukum, akan tetapi telah menjadi momok menakut-nakuti dunia online. Dimana saat ini, di setiap milis dan komunitas online, kreatifitas seakan direm untuk menyampaikan opini. Dunia online yang dapat mengasah dirinya, mendewasakan komunitas, seakan berhadapan dengan sebuah tembok buntu kemunduran.
TIM menmghimbau kalangan ICT Indonesia,Kadin Indonesisa, asosiasi dunia usaha, komunitas online mengkriti UU ITE itu, khususnya kerancuan kata menstransmisikan dan sejenis dalam UU ITE tersebut, dan menghimbau kalangan Ombudsman global mengawasi UU ITE ini, yang terindikasi bertentangan piagam PBB khususnya pasal 19. TIM mendukung penuh segenap upaya judicial rewiew terhadap UU ITE khususnya pasal 27 tersebut.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan, agar dapat menjadi perhatian bagi komunitas ICT Indonesia khususnya dan masyarakat umumnya.
Jakarta 23 Februari 2009,
Atas nama TIM, Narliswandi Piliang
Source: http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2009/02/23/siaran-pers-uu-ite-lemahnya-uu-no11-tahun-2008/
Kasus Prita UU-ITE dan Perlindungan Konsumen
Gara-gara kasus Ibu Prita Mulyasari,… yang masuk bui dengan dakwaan pasal 27 ayat (3) UU ITE …. membuat semua orang gemaaaaz dengan UU ITE ini … !!! Bahkan ada yang berpendapat,… salaah menerapkan pasal ini… !!! Bahkan … banyak bola panas beredar… ndaak perlu laagh gue sebutin disini… namun gue tergelitik untuk melihat apa sih … penafsiran pasal 27 ayat (3) … pada UU ITE ini… ??? Mari kita telaah sejenaaak … !!!
Bunyi Pasal 27 ayat (3) tersebut… adalah… ” Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”
Jika kita lihat kronologisnya, Ibu Prita Mulyasari ini complaint… dan termuat di detik.com ….!!! Dan atas dasar itulaagh maka Ibu Prita dituntut dengan pasal tersebut… !!! Mungkin pertimbangannya … Ibu Prita dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan… informasi elektronis… dan berimplikasi pada pencemaran nama baik… !!! Disini… terjadi penafsiran yang multitafsir… !!! Lha wong bisa aza… sudut pandang lain… dari sisi UU perlindungan konsumen… yang namanya keluhan itu adalah hak konsumen… !!! Artinya apa… Negara menjamin hak itu… !!!
Kemudian penafsiran… membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Ini juga bisa multitafsir… Apa detik.com sebagai pengelola web bisa diartikan membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Gimana dengan forum-forum yang ada di dunia maya ini… ??? Bagaimana TV yang menyiarkan tentang gosip selebrities sehingga nama baik selebrities merasa dirugikan… ??? Bagaimana dengan yang tidak elektronis… koran misalnya… ???
So.. menurut gue pasal 27 ayat (3) ini… sangat rancu.. dan nggak ada batasannya… !!! Bagaimana dengan kebebasan berpendapat yang terdapat pada UUD 1945… ??? Mana kedudukan yang lebih tinggi… ??? Apalagi bertabrakan dengan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen… !!! Dan bisa saza… karena ini kasus konsumen yang complaint mestinya dilindungi… tidak boleh dijerat…. jadi terjadi multitafsir dan bertabrakan…. !!! Ini tidak boleh terjadi… hukum memang harus ditegakkan… namun harus ada kepastian hukum… !!!
Last,… menurut gue Majelis Konstitusi… kudu melihat lagi… pasal 27 secara umum… dan khususnya ayat (3)… !!! Jangan sampai … adanya celah hukum ini… terjadi keresahan di masyarakat … !!!
Source: http://triatmono.wordpress.com/2009/06/03/mari-menafsirkan-pasal-27-ayat-3-uu-ite/
Kala Blogger Tersandung UU-ITE
Di saat masyarakat Indonesia mulai melek internet. Apalagi pasca Pesta Blogger 2007 (27 Oktober 2007) komunitas blogger pun bermunculan di pelbagai daerah.
Kini, para penikmat sekaligus pemerhati media alternativ itu harus sedikit resah. Pasalnya, kemunculan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) (klik link untuk membaca UU ITE) berakibat negatif terhadap para blogger dan hacker.
Blogger dan Hacker Negatif
Betapak tidak, Roy Surya selaku pakar telematika menuturkan “Meski demikian, ia mengingatkan bahwa meski telah memiliki undang-undang, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan ada perlawanan dari para ’blogger’ dan ’hacker’ yang biasanya akan mengganggu sistem pemblokiran tersebut.” Seperti yang dilansir Kompas.
“Saya yakin para blogger dan hacker pasti akan melakukan serangan terhadap sistem itu. Tetapi, kemungkinan ancaman tersebut bukan berarti melemahkan niat pemerintah,” cetusnya.
Yang lebih mengeriakn lagi, Ia mengurai “Kelompok blogger dan hacker yang selalu bertindak negatif adalah pelakunya. Hal ini membuktikan, yang namanya blogger dan hacker Indonesia belum bisa mencerminkan citra positif” tegasnya kepada detikINET, Kamis (27/3).
Hacker atau Cracker
Bila mencermati pernyataan sikap orang nomer satu dalam bidang telematika itu, tentunya ada yang ganjil terhadap penamaan hacker. Pasalnya, di mata Romi Satria Wahono menuturkan ada perbedaan mendasar antara hacer dan cracker.
Tengok saja, tulisanya ‘Meluruskan Salah Kaprah Tentang Hacker’
hacker membangun banyak hal dan cracker merusaknya“. Hacker sejati adalah seorang programmer yang baik. Sesuatu yang sangat bodoh apabila ada orang atau kelompok yang mengklaim dirinya hacker tapi sama sekali tidak mengerti bagaimana membuat program. Sifat penting seorang hacker adalah senang berbagi, bukan berbagi tool exploit, tapi berbagi ilmu pengetahuan.
Pendek kata, Hacker sejati merupakan seorang penulis yang mampu memahami dan menulis artikel dalam bahasa Ibu dan bahasa Inggris dengan baik. Hacker adalah seorang nerd yang memiliki sikap (attitude) dasar yang baik, yang mau menghormati orang lain, menghormati orang yang menolongnya, dan menghormati orang yang telah memberinya ilmu, sarana atau peluang.
Adalah Pelaku carding (penyalahgunaan kartu kredit), phreaking, dan defacing bukanlah hacker tapi mereka adalah cracker. Inilah Satu bukti perilaku lalim dari pegiat maya.
Dalam menjalakan aksinya, para Hacker jarang memakai identitas dengan nickname, screenname atau handlename–yang lucu, konyol dan bodoh.
Bagi Eric S Raymond mengungkapkan “Menyembunyikan nama, sebenarnya hanyalah sebuah kenakalan, perilaku konyol yang menjadi ciri para cracker, warez d00dz dan para pecundang yang tak berani bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
Dengan demikian hacker merupakan sebuah reputasi, mereka bangga dengan pekerjaan yang dilakukan dan ingin aktivitas itu diasosiasikan dengan nama mereka yang sebenarnya.
Hacker tidaklah harus orang komputer, karena konsep hacking adalah para pembelajar sejati, orang yang penuh antusias terhadap pekerjaannya dan tidak pernah menyerah karena gagal. Dan para hacker bisa muncul di bidang elektronika, mesin, arsitektur, ekonomi, politik, dsb.
Nah, bila perbuatan koyol yang dikategorikan oleh Roy Suryo, maka pantas sekaligus wajid di curigai para penggila cyber—termasuk di dalamnya blogger.
Jika yang hanya hacker sejati dan blogger bukan para pembohong belaka, maka sudah selayaknya kita tetap menghargai kejujuran dan iktiar kita untuk selalu menulis. Pasalnya, menulis merupakan petanda orang-orang yang mencoba beradab.
Kehadiran UU TIE pun berbanding lurus dengan kuatnya arus informasi supaya tetap menulis hal-hal yang bermakna sekaligus bermanfaat. Semoga. [Ibn Ghifarie]
Ayo Ngeblog, Ayo Ngoment Juga!!
Source: http://www.ayongeblog.com/2008/03/28/kala-blogger-tersandung-uu-ite/
Judicial Review UU-ITE Ditolak
Untuk yang belajar marketing, khususnya e-marketing / Online Marketing dan pengguna Social Network khususnya FaceBook yang profilenya bisa mudah ditracking… wajib hati hati !!!!! Judicial Review UU-ITE resmi Ditolak !! Entah sebagai Usaha ‘melindungi rakyat’, personal branding, corporate yang berkepentingan atau peperangan ’say-no-to’ yang mulai memanas banyak….
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. ”
Salah satu isi dari UU-ITE yang dinilai memberatkan para pemilik web dan membingungkan pengguna internet.untuk itu diajukan permohonan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi karena menilai pasal tersebut bertentangan dengan asas Kebebasan Berpendapat.
Bahkan, dalam perkembangan sidang perkara uji materiil, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatalkan UU tersebut.
HEBATnya…..
Hari ini, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang.
Dari hal diatas, yang saya notice adalah ;
keberadaan Social Network ( FS, Facebook, etc ) , Blog, dan Web lainnya. Mempengaruhi suara rakyat terhadap pemerintah. dalam hal ini kebebasan bersuara untuk menyuarakan tanpa intervensi.
Suara sesama lebih didengar dibanding corporate ataupun Pemerintah, Suara suara yang berada di dunia Online lebih terbuka, jujur,mempunyai kedudukan yang horizontal / sejajar dan mewakili suara personal yang lebih mudah kita dapatkan feedbacknya. Hasilnya adalah trust worthy yang lebih dipercaya
Bagaimana dengan kamu …? mau ngejaga suara untuk hati hati supaya ngak di bungkam tangan tangan ajaib atau tetep berjuang untuk bebas bersuara…..
Source: http://road-entrepreneur.com/judicial-review-uu-ite-resmi-ditolak/
Pemerintah Dinilai Gagal
Selasa, 16 Juni 2009
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai gagal dalam menjalankan kebijakan penegakan hak asasi manusia (HAM. SBY juga dinilai gagal dalam melaksanakan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan prinsip-prinsip HAM internasional.
Keberhasilan SBY dalam penegakan HAM hanya 57,68 persen dari total program yang tercantum dalam Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2004-2009.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi, dalam keterangannya kepada wartawan, di Jakarta, Senin (15/6), mengemukakan, evaluasi penegakan HAM tersebut mengacu pada enam poin kriteria yang tercantum pada RAN HAM pemerintah periode 2004-2009 dalam Keppres Nomor 40 Tahun 2004.
“Sebagian besar capaian SBY selama ini lebih terfokus pada bidang hak ekonomi, sosial, budaya. Sedangkan untuk pelanggaran HAM berat, SBY gagal menyelesaikannya,” kata Hendardi.
Menurut Hendardi, keenam poin tersebut adalah, pertama, pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RAN HAM dengan jumlah 18 program yang terlaksana 17 program. Kedua, dalam persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional, dari 12 program, hanya terlaksana dua program, dan sisanya tidak terlaksana.
Ketiga, untuk kriteria persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dari lima program, tak satu pun terlaksana. Keempat, untuk diseminasi dan pendidikan HAM, dari 18 program, hanya setengahnya yang terlaksana. Kelima, untuk kriteria penerapan norma dan standar HAM, dari 39 program, hanya 21 terlaksana dan 18 tidak terlaksana. Keenam, untuk kriteria pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, dari 11 program, hanya tujuh terlaksana dan empat lainnya tidak terlaksana.
Karena itu, menurut Hendardi, dari total 103 program dalam RAN HAM, 56 terlaksana dan 47 lainnya tidak terlaksana. Jadi, persentasenya adalah 48,41 persen tidak terlaksana.
Karena itu, ia khawatir jika kebijakan pemerintahan hasil pilpres seperti ini, penegakan HAM dalam lima tahun mendatang akan mengalami kendala serius.
“Makanya, dalam penyusunan RAN HAM 2010-2014, harus komprehensif dengan berpijak pada rumpun kebebasan yang harus dijamin negara dan membuka ruang respons kontekstual atas peristiwa pelanggaran HAM,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Direktur Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menegaskan, harmonisasi dalam perundang-undangan, satu pun belum ada yang dijalankan. Karena itu, ia menilai, pemerintahan SBY lengah dalam menjamin kebebasan sipil dan politik, serta pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, selama masa 2004-2009.
“Dalam periode itu malah timbul UU yang tidak kondusif terhadap penegakan HAM. Misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi, UU Mineral dan Batu Bara, UU BHP, dan UU Penanaman modal,” ujarnya Bonar.
Ia menjabarkan, lemahnya jaminan HAM dalam UU ITE sudah terbukti dengan adanya kasus pencemaran nama baik dalam kasus Prita Mulyasari. “Bagaimana mungkin UU ITE ancaman hukumannya bisa lebih tinggi dari KUHP,” kata dia.
Meski demikian, ia menambahkan, terdapat pula peraturan perundang-undangan setingkat UU yang masih kondusif dan sesuai dengan pemajuan serta harmonisasi terhadap Konvensi, Kovenan, dan Deklarasi Internasional tentang HAM.
Yakni, kata dia, UU Pemerintahan Aceh, UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Penanggulangan Bencana, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Ombudsman, dan UU Penghapusan Diskriminasi Rasial.
“Harmonisasi perundang-undangan itu dengan instrumen internasional yang menjadi agenda RAN HAM juga gagal dipenuhi pemerintah,” kata dia. (Sugandi)
Source: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=229245
Semoga informasi ini bisa bermnafaat bagi kawan-kawan dan bisa membuka pikiran untuk jauh lebih baik kedepannya.
Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan!
Bagaimana menurut anda??? :)
17 June 2009
Penulis: UtuH · Kategori Artikel: News
Binus Hacker Sponsor Banner
Berikut ini Kontroversi dan Polemik UU-ITE
Undang-Undang Infomasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ini pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi dari skema konvergensi bidang telekomunikasi, computing dan entertainment (media), dimana pada awalnya masing-masing masih berbaur sendiri-sendiri. Undang-undang ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum dan implikasinya pada saat transaksi elektronik seperti transaksi keuangan via ponsel, dari mulai saat memasukkan password, melakukan transaksi keuangan, sampai bagaimana pesan itu sampai ke recipient yang dituju. Kepastian hukum ini diperlukan untuk para stakeholder terkait di dalamnya, mulai dari operator seluler, penyedia service transaksi keuangan tersebut, bank dimana sang nasabah menyimpan uangnya, sampai ke bank dimana recipient menjadi nasabahnya (yang mungkin saja berbeda dengan bank si sender).
image
Gambar 1. UU ITE sebagai konsekuensi dari sebuah skema konvergensi teknologi dan hukum
UU ITE ini diterbitkan per tanggal 25 Maret 2008 lalu oleh pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), dengan cakupan materi yang cukup komprehensif (gambar 2). Didahului dengan berbagai pertimbangan yang mendasari dibuatnya undang-undang ini, penekanan terhadap globalisasi, perkembangan teknologi informasi, dan keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
image
Gambar 2. Cakupan Materi UU ITE
Pemerintah mengklaim bahwa UU ini sudah mengakomodasi berbagai masukan dari para stakeholder terkait, dan sudah pula mengacu kepada aturan internasional seperti Brussels Convention on Online Transaction 2002, United Nations Commissions on International Trade Law (UNCITRAL), World Trade Organization (WTO), Uni Eropa (UE), APEC, ASEAN, dan OECD. Namun dalam proses pengerjaannya sampai selesai saat inipun masih ada sebagian kalangan menentangnya bahkan menginginkan judicial review.
Sebelum membahas lebih jauh tentang hal-hal yang masih dipermasalahkan, ada baiknya dipahami dulu tentang apa itu tandatangan elektronik dan apa itu sertifikat elektronik, yang selalu disebut-sebut dalam sebagian pasal pada UU tersebut.
Tandatangan Elektronik
Proses terjadinya tandatangan elektronik (TE) dimulai dengan suatu pesan asli yang dimasukkan dalam suatu fungsi Hash sehingga menghasilkan suatu message digest. Message digest ini sama dengan suatu “sidik jari” sehingga jika ada perubahan sekecil apapun dari message digest ini maka message asli tidak akan dapat direproduksi lagi karena “sidik jari” telah berubah.
image
Gambar 3. Mekanisme Tandatangan Elektronik
Dari gambar tersebut maka yang disebut dengan TE adalah Message Digest yang telah ditandatangani menggunakan private key. Selanjutnya recipient ketika menerima “plain text + tandatangan” akan memisahkan antara “plain text” dengan “tandatangan”.
Bagian “tandatangan“ tadi akan dibuka menggunakan public key yang dimiliki recipient sehingga menjadi message digest (sebut saja message digest A), lalu “plain text” tadi akan dimasukkan ke fungsi Hash yang sama dengan sender, maka muncullah “message digest” kedua (sebut saja message digest B). Maka kedua message digest A dan B ini lalu dibandingkan. Jika sama, berarti tidak ada perubahan dalam proses pengiriman sampai ke recipient.
Penyelenggara Sertifikat Elektronik dan Sistem Elektronik
Identifikasi penandatangan suatu dokumen elektronik bukan hal mudah. Jika suatu proses penandatanganan dokumen ini diragukan, maka keabsahannya bisa hilang. Karenanya, agar menjadi dokumen yang dapat dipercaya dan sah secara hukum, maka diperlukan bantaun pihak ketiga yang disebut dengan Penyelenggara Sertifikat Elektronik (PSE) atau Certificate Authority (CA). CA akan membantu untuk identifikasi penandatanganan dan membantu menghubungkan antara kunci publik dengan subyek hukumnya.
Jika subyek hukum tersebut adalah X, maka X akan meregister kunci publiknya terlebih dulu kepada suatu PSE. Lalu PSE ini akan membuatkan suatu sertifikast elektronik yang merupakan hasil “binding” antara X dengan kunci publiknya. Jadi sertifikat elektronik ini sebenarnya berisi kunci publik X yang dioperasikan secara AND dengan kunci publik X yang sudah ditandatangani oleh PSE.
image
Gambar 4. Proses pembentukan sertifikat elektronik oleh PSE
Dengan demikian jika pengguna Y ingin membuka dokumen elektronik dari pengguna X tadi, maka pengguna Y harus terlebih dulu mendapatkan sertifikat elektronik X. Lalu dengan menggunakan kunci publik dari PSE, maka tandatangan digital (dari PSE) yang ada di dalam sertifikat X akan dapat dibuka. Dengan demikian maka kini kunci publik X bisa didapatkan.
image
Gambar 5. Contoh sertifikat elektronik dan beberapa isinya
Peluang dan Kontroversi
Peluang yang dapat diambil dengan kehadiran UU ITE ini adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaran Sistem Elektronik (Certificate Authority / CA) diharuskan berbadan hukum dan berdomisili di Indonesia (pasal 13 sampai 16). CA dari luar negeri yang terkenal seperti Verisign dan Geotrust dianggap tidak memiliki cukup informasi untuk melakukan verifikasi terhadap identitas seseorang di dalam Indonesia. Ini memberi peluang bagi bisnis baru di Indonesia. Juga dalam hal audit kehandalan atau kesesuaian yang meliputi banyak paramater, dari manajemen umum, kebijakan, manajemen resiko, otentikasi, otorisasi, pengawasan, ekpertise yang memadai, dll. Sebagian besar UU ini memang mengatur Infrastruktur Kunci Publik (Public Key Infrastructure/PKI). Untuk diketahui pada tahun 2006 sudah diterbitkan Peraturan Menkominfo 29/PERM/M.KOMINFO/11/2006 tentang pengorganisasian, pengawasan, dan pengamanan infrastruktur CA ini.
1. UU ini dapat mengantisipasi kemungkinan penyalahgunaan internet yang dapat merugikan. Aksi membobol sistem pihak lain (cracking) kini dilarang secara eksplisit. Pencegahan terhadap sabotase terhadap perangkat digital dan jaringan data yang dapat mengganggu privasi seseorang membutuhkan suatu sistem security yang baik.
Ini adalah peluang bagi masyarakat untuk menjadi praktisi keamanan jaringan. Jika seseorang tidak memanfaatkan internet untuk hal-hal negatif, tidak ada yang perlu ditakutkan dengan kehadiranUU ITE ini. Karenanya kekawatiran pengusaha Warnet sebenarnya tidak beralasan, mungkin dalam hal petunjuk pelaksanaannya saja yang memang belum jelas karena ada beberapa Peraturan di bawahnya yang belum selesai dibuat.
2. Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan hukum. Kini Tandatangan Elektronik sudah memiliki kekuatan hukum sehingga dianggap sama dengan tandatangan konvensional, sehingga alat bukti elektronik sudah diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP.
3. Kegiatan ekonomi bisa mendapatkan perlindungan hukum, misalnya E-tourism, E-learning, implementasi EDI, transaksi dagang via, sehingga jika ada yang melakukan pelanggaran akan bisa segera digugat berdasarkan pasal-pasal UU ITE ini. Hambatan pengurusan ekspor-import terkait dengan transaksi elektronik dapat diminimalkan, apalagi jika nantinya sudah kerjasama berupa mutual legal assistance sudah dapat terealisasikan.
4. Walaupun masih perlu ada Mutual Legal Assistance (MLA), UU ini sudah dibuat dengan menganut prinsip extra territorial jurisdiction sehingga kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dari luar Indonesia, akan bisa diadili dengan UU ini.
5. Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa alternative atau arbitrase.
6. UU ITE ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet (terlepas dari sisi negatifnya) untuk digunakan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. Public awareness harus dibangun secara kontinyu, sehingga “bahasa” internet di Indonesia menjadi bahasa yang bermartabat. Tentu saja ini harus dibarengi dengan infrastruktur yang mumpuni untuk mengurangi dampak negatifnya. Pembentukan ID-SIRTI tampaknya sudah mengarah ke sana.
Di balik segala peluang tersebut, muncul banyak kontroversi yang disebabkan beberapa kelemahan pada UU ITE ini. Apa saja kelemahan yang menjadi dasar bagi para kalangan yang kontra terhadap kehadiran UU ITE ini ?
1. UU ini dianggap dapat membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat dan bisa menghambar kreativitas dalam ber-internet, terutama pada pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (3). Pasal-pasal tersebut pada dianggap umumnya memuat aturan-aturan warisan pasal karet (haatzai artikelen), karena bersifat lentur, subjektif, dan sangat tergantung interpretasi pengguna UU ITE ini. Ancaman pidana untuk ketiganya pun tak main-main yaitu penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah
Tambahan lagi, dalam konteks pidana, ketiga delik ini berkategori delik formil, jadi tidak perlu dibuktikan akan adanya akibat dianggap sudah sempurna perbuatan pidananya. Ketentuan delik formil ini, di masa lalu sering digunakan untuk menjerat pernyataan-pernyataan yang bersifat kritik. Pasal-pasal masih dipermasalahkan oleh sebagian bloger Indonesia.
2. Belum ada pembahasan detail tentang spamming. Dalam pasal 16 UU ITE mensyaratkan penggunaan ’sistem elektronik’ yang aman dengan sempurna, namun standar spesifikasi yang bagaimana yang digunakan ? Apakah mengoperasikan web server yang memiliki celah keamanan nantinya akan melanggar undang-undang?
3. Masih terbuka munculnya moral hazard memanfaatkan kelemahan pengawasan akibat euforia demokrasi dan otonomi daerah, seperti yang kadang terjadi pada pelaksanaan K3 dan AMDAL.
4. Masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar kesusilaan, definisi perjudian, interpretasi suatu penghinaan. Siapa yang berhak menilai standarnya ? Ini sejalan dengan kontroversi besar pada pembahasan undang-undang anti pornografi.
5. Ada masalah yurisdiksi hukum yang belum sempurna. Ada suatu pengaandaian dimana seorang WNI membuat suatu software kusus pornografi di luar negeri akan dapat bebas dari tuntutan hukum.
Akhirnya dampak nyata UU ITE ini akan berhulu kepada bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Semua stakeholder atau yang berkepentingan dengan undang-undang ini diharapkan tidak salah mengartikan pasal-pasalnya, tetapi juga tidak menyalahgunakannya. Lembaga sekuat KPK saja dalam hal penyadapan, misalnya, harus berhati-hati menggunakannya, jika tidak mau menuai kritikan dari para praktisi hukum.
Mengutip pernyataan Menkominfo bahwa penerapan UU ITE harus memuat titik temu, harus seimbang, tidak terlalu ketat atau terlalu longgar. Di situlah mungkin seninya.
Referensi
1. Edmon Makarim., S.Kom., S.H., LL.M, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU-ITE), Depkominfo, 2008
2. Cahyana Ahmadjayadi, Peran e-Government Untuk Pelayanan Publik yang Lebih Baik, Depkominfo, 2003
3. I Wayan “Gendo” Suardana, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Ancaman Terhadap Kebebasan Berekspresi, 2008
4. M Jafar Elly, Mengoptimalkan UU ITE, Republika 17 April 2008
Source: http://makhdor.blogspot.com/2009/01/uu-ite-antara-peluang-dan-kontroversi_26.html
Dampak UU-ITE
Ihwal Penting dan Lemahnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Eklektronika (UU ITE), dan dampaknya bagi kehidupan bermasyarakat.
TIM Kuasa Hukum Pemantau Kebebesan Pers, Jaringan Jurnalis Presstalk, Masyarakat Peduli Internet Sehat, Indocontent, selanjutnya menyebut diri TIM PEDULI KEPASTIAN HUKUM ICT (selanjutnya disingkat TIM saja) beralamat di Gd. Manggala Wanabakti, Ruang 212, Wing B, menyampaikan kepada publik:
Setelah melakukan verifikasi kepada Kadin Indonesia, termasuk ke komunitas online, seperti APWKOMITEL – - jaringan warnet seluruh Indonesia — UU ITE sangat dibutuhkan bagi kepastian transaksi elektronika, dengan berkembangnya perdagangan dunia maya, penggunaaan tanda-tangan digital, pembayaran mikro di dunia digital dan TIM sangat mendukung perihal ini.
Penggabungan payung makro, tanpa merinci ihwal penyalah-gunaan pemakaian komputer (Computer Offensive), yang murni kejahatan, seperti carding, cracking, spamming, pencurian data melalui pemakaian flash disk, penggandaan keping cakram data dan teknis lainnya, tidak mendapatkan muara nyata dalam UU ITE tersebut, dan perihal ini, jelas-jelas tindakan pidana, yang seharusnya mendapatkan porsi rinci.
UU ITE telah merambah ranah privat, publik, dengan muatan khusus di pasal 27, ayat 1 hingga ayat 3, dengan hukuman sangat tinggi dan denda besar mencapai miliaran; telah berimplikasi membawa kegelisahan, ketakutan, dan momok bagi publik.
Akibat UU ITE pasal 27 tersebut sudah mulai ditangkapi warnet yang tidak terbukti menyelenggarakan konten pornogafi, penangkapan orang yang menyampaikan fakta buruknya layanan kesehatan rumah sakit melalui milis, penginterogasian hingga ”menembak” tersangka jurnalis dan citizen reporter, yang kesemuanya dapat mengacu ke kaedah hukum di KUHP, plus di banyak negara sesungguhnya masuk ke ranah perdata.
Akibat butir 3 di atas, UU ITE bukan memberikan kepastian hukum, akan tetapi telah menjadi momok menakut-nakuti dunia online. Dimana saat ini, di setiap milis dan komunitas online, kreatifitas seakan direm untuk menyampaikan opini. Dunia online yang dapat mengasah dirinya, mendewasakan komunitas, seakan berhadapan dengan sebuah tembok buntu kemunduran.
TIM menmghimbau kalangan ICT Indonesia,Kadin Indonesisa, asosiasi dunia usaha, komunitas online mengkriti UU ITE itu, khususnya kerancuan kata menstransmisikan dan sejenis dalam UU ITE tersebut, dan menghimbau kalangan Ombudsman global mengawasi UU ITE ini, yang terindikasi bertentangan piagam PBB khususnya pasal 19. TIM mendukung penuh segenap upaya judicial rewiew terhadap UU ITE khususnya pasal 27 tersebut.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan, agar dapat menjadi perhatian bagi komunitas ICT Indonesia khususnya dan masyarakat umumnya.
Jakarta 23 Februari 2009,
Atas nama TIM, Narliswandi Piliang
Source: http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2009/02/23/siaran-pers-uu-ite-lemahnya-uu-no11-tahun-2008/
Kasus Prita UU-ITE dan Perlindungan Konsumen
Gara-gara kasus Ibu Prita Mulyasari,… yang masuk bui dengan dakwaan pasal 27 ayat (3) UU ITE …. membuat semua orang gemaaaaz dengan UU ITE ini … !!! Bahkan ada yang berpendapat,… salaah menerapkan pasal ini… !!! Bahkan … banyak bola panas beredar… ndaak perlu laagh gue sebutin disini… namun gue tergelitik untuk melihat apa sih … penafsiran pasal 27 ayat (3) … pada UU ITE ini… ??? Mari kita telaah sejenaaak … !!!
Bunyi Pasal 27 ayat (3) tersebut… adalah… ” Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”
Jika kita lihat kronologisnya, Ibu Prita Mulyasari ini complaint… dan termuat di detik.com ….!!! Dan atas dasar itulaagh maka Ibu Prita dituntut dengan pasal tersebut… !!! Mungkin pertimbangannya … Ibu Prita dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan… informasi elektronis… dan berimplikasi pada pencemaran nama baik… !!! Disini… terjadi penafsiran yang multitafsir… !!! Lha wong bisa aza… sudut pandang lain… dari sisi UU perlindungan konsumen… yang namanya keluhan itu adalah hak konsumen… !!! Artinya apa… Negara menjamin hak itu… !!!
Kemudian penafsiran… membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Ini juga bisa multitafsir… Apa detik.com sebagai pengelola web bisa diartikan membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Gimana dengan forum-forum yang ada di dunia maya ini… ??? Bagaimana TV yang menyiarkan tentang gosip selebrities sehingga nama baik selebrities merasa dirugikan… ??? Bagaimana dengan yang tidak elektronis… koran misalnya… ???
So.. menurut gue pasal 27 ayat (3) ini… sangat rancu.. dan nggak ada batasannya… !!! Bagaimana dengan kebebasan berpendapat yang terdapat pada UUD 1945… ??? Mana kedudukan yang lebih tinggi… ??? Apalagi bertabrakan dengan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen… !!! Dan bisa saza… karena ini kasus konsumen yang complaint mestinya dilindungi… tidak boleh dijerat…. jadi terjadi multitafsir dan bertabrakan…. !!! Ini tidak boleh terjadi… hukum memang harus ditegakkan… namun harus ada kepastian hukum… !!!
Last,… menurut gue Majelis Konstitusi… kudu melihat lagi… pasal 27 secara umum… dan khususnya ayat (3)… !!! Jangan sampai … adanya celah hukum ini… terjadi keresahan di masyarakat … !!!
Source: http://triatmono.wordpress.com/2009/06/03/mari-menafsirkan-pasal-27-ayat-3-uu-ite/
Kala Blogger Tersandung UU-ITE
Di saat masyarakat Indonesia mulai melek internet. Apalagi pasca Pesta Blogger 2007 (27 Oktober 2007) komunitas blogger pun bermunculan di pelbagai daerah.
Kini, para penikmat sekaligus pemerhati media alternativ itu harus sedikit resah. Pasalnya, kemunculan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) (klik link untuk membaca UU ITE) berakibat negatif terhadap para blogger dan hacker.
Blogger dan Hacker Negatif
Betapak tidak, Roy Surya selaku pakar telematika menuturkan “Meski demikian, ia mengingatkan bahwa meski telah memiliki undang-undang, yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan ada perlawanan dari para ’blogger’ dan ’hacker’ yang biasanya akan mengganggu sistem pemblokiran tersebut.” Seperti yang dilansir Kompas.
“Saya yakin para blogger dan hacker pasti akan melakukan serangan terhadap sistem itu. Tetapi, kemungkinan ancaman tersebut bukan berarti melemahkan niat pemerintah,” cetusnya.
Yang lebih mengeriakn lagi, Ia mengurai “Kelompok blogger dan hacker yang selalu bertindak negatif adalah pelakunya. Hal ini membuktikan, yang namanya blogger dan hacker Indonesia belum bisa mencerminkan citra positif” tegasnya kepada detikINET, Kamis (27/3).
Hacker atau Cracker
Bila mencermati pernyataan sikap orang nomer satu dalam bidang telematika itu, tentunya ada yang ganjil terhadap penamaan hacker. Pasalnya, di mata Romi Satria Wahono menuturkan ada perbedaan mendasar antara hacer dan cracker.
Tengok saja, tulisanya ‘Meluruskan Salah Kaprah Tentang Hacker’
hacker membangun banyak hal dan cracker merusaknya“. Hacker sejati adalah seorang programmer yang baik. Sesuatu yang sangat bodoh apabila ada orang atau kelompok yang mengklaim dirinya hacker tapi sama sekali tidak mengerti bagaimana membuat program. Sifat penting seorang hacker adalah senang berbagi, bukan berbagi tool exploit, tapi berbagi ilmu pengetahuan.
Pendek kata, Hacker sejati merupakan seorang penulis yang mampu memahami dan menulis artikel dalam bahasa Ibu dan bahasa Inggris dengan baik. Hacker adalah seorang nerd yang memiliki sikap (attitude) dasar yang baik, yang mau menghormati orang lain, menghormati orang yang menolongnya, dan menghormati orang yang telah memberinya ilmu, sarana atau peluang.
Adalah Pelaku carding (penyalahgunaan kartu kredit), phreaking, dan defacing bukanlah hacker tapi mereka adalah cracker. Inilah Satu bukti perilaku lalim dari pegiat maya.
Dalam menjalakan aksinya, para Hacker jarang memakai identitas dengan nickname, screenname atau handlename–yang lucu, konyol dan bodoh.
Bagi Eric S Raymond mengungkapkan “Menyembunyikan nama, sebenarnya hanyalah sebuah kenakalan, perilaku konyol yang menjadi ciri para cracker, warez d00dz dan para pecundang yang tak berani bertanggungjawab atas segala perbuatannya.
Dengan demikian hacker merupakan sebuah reputasi, mereka bangga dengan pekerjaan yang dilakukan dan ingin aktivitas itu diasosiasikan dengan nama mereka yang sebenarnya.
Hacker tidaklah harus orang komputer, karena konsep hacking adalah para pembelajar sejati, orang yang penuh antusias terhadap pekerjaannya dan tidak pernah menyerah karena gagal. Dan para hacker bisa muncul di bidang elektronika, mesin, arsitektur, ekonomi, politik, dsb.
Nah, bila perbuatan koyol yang dikategorikan oleh Roy Suryo, maka pantas sekaligus wajid di curigai para penggila cyber—termasuk di dalamnya blogger.
Jika yang hanya hacker sejati dan blogger bukan para pembohong belaka, maka sudah selayaknya kita tetap menghargai kejujuran dan iktiar kita untuk selalu menulis. Pasalnya, menulis merupakan petanda orang-orang yang mencoba beradab.
Kehadiran UU TIE pun berbanding lurus dengan kuatnya arus informasi supaya tetap menulis hal-hal yang bermakna sekaligus bermanfaat. Semoga. [Ibn Ghifarie]
Ayo Ngeblog, Ayo Ngoment Juga!!
Source: http://www.ayongeblog.com/2008/03/28/kala-blogger-tersandung-uu-ite/
Judicial Review UU-ITE Ditolak
Untuk yang belajar marketing, khususnya e-marketing / Online Marketing dan pengguna Social Network khususnya FaceBook yang profilenya bisa mudah ditracking… wajib hati hati !!!!! Judicial Review UU-ITE resmi Ditolak !! Entah sebagai Usaha ‘melindungi rakyat’, personal branding, corporate yang berkepentingan atau peperangan ’say-no-to’ yang mulai memanas banyak….
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. ”
Salah satu isi dari UU-ITE yang dinilai memberatkan para pemilik web dan membingungkan pengguna internet.untuk itu diajukan permohonan uji materi (Judicial Review) ke Mahkamah Konstitusi karena menilai pasal tersebut bertentangan dengan asas Kebebasan Berpendapat.
Bahkan, dalam perkembangan sidang perkara uji materiil, saksi ahli yang dihadirkan pemohon meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatalkan UU tersebut.
HEBATnya…..
Hari ini, permohonan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang.
Dari hal diatas, yang saya notice adalah ;
keberadaan Social Network ( FS, Facebook, etc ) , Blog, dan Web lainnya. Mempengaruhi suara rakyat terhadap pemerintah. dalam hal ini kebebasan bersuara untuk menyuarakan tanpa intervensi.
Suara sesama lebih didengar dibanding corporate ataupun Pemerintah, Suara suara yang berada di dunia Online lebih terbuka, jujur,mempunyai kedudukan yang horizontal / sejajar dan mewakili suara personal yang lebih mudah kita dapatkan feedbacknya. Hasilnya adalah trust worthy yang lebih dipercaya
Bagaimana dengan kamu …? mau ngejaga suara untuk hati hati supaya ngak di bungkam tangan tangan ajaib atau tetep berjuang untuk bebas bersuara…..
Source: http://road-entrepreneur.com/judicial-review-uu-ite-resmi-ditolak/
Pemerintah Dinilai Gagal
Selasa, 16 Juni 2009
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dinilai gagal dalam menjalankan kebijakan penegakan hak asasi manusia (HAM. SBY juga dinilai gagal dalam melaksanakan penyesuaian peraturan perundang-undangan dengan prinsip-prinsip HAM internasional.
Keberhasilan SBY dalam penegakan HAM hanya 57,68 persen dari total program yang tercantum dalam Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) 2004-2009.
Direktur Eksekutif Setara Institute, Hendardi, dalam keterangannya kepada wartawan, di Jakarta, Senin (15/6), mengemukakan, evaluasi penegakan HAM tersebut mengacu pada enam poin kriteria yang tercantum pada RAN HAM pemerintah periode 2004-2009 dalam Keppres Nomor 40 Tahun 2004.
“Sebagian besar capaian SBY selama ini lebih terfokus pada bidang hak ekonomi, sosial, budaya. Sedangkan untuk pelanggaran HAM berat, SBY gagal menyelesaikannya,” kata Hendardi.
Menurut Hendardi, keenam poin tersebut adalah, pertama, pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RAN HAM dengan jumlah 18 program yang terlaksana 17 program. Kedua, dalam persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional, dari 12 program, hanya terlaksana dua program, dan sisanya tidak terlaksana.
Ketiga, untuk kriteria persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan, dari lima program, tak satu pun terlaksana. Keempat, untuk diseminasi dan pendidikan HAM, dari 18 program, hanya setengahnya yang terlaksana. Kelima, untuk kriteria penerapan norma dan standar HAM, dari 39 program, hanya 21 terlaksana dan 18 tidak terlaksana. Keenam, untuk kriteria pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, dari 11 program, hanya tujuh terlaksana dan empat lainnya tidak terlaksana.
Karena itu, menurut Hendardi, dari total 103 program dalam RAN HAM, 56 terlaksana dan 47 lainnya tidak terlaksana. Jadi, persentasenya adalah 48,41 persen tidak terlaksana.
Karena itu, ia khawatir jika kebijakan pemerintahan hasil pilpres seperti ini, penegakan HAM dalam lima tahun mendatang akan mengalami kendala serius.
“Makanya, dalam penyusunan RAN HAM 2010-2014, harus komprehensif dengan berpijak pada rumpun kebebasan yang harus dijamin negara dan membuka ruang respons kontekstual atas peristiwa pelanggaran HAM,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Direktur Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, menegaskan, harmonisasi dalam perundang-undangan, satu pun belum ada yang dijalankan. Karena itu, ia menilai, pemerintahan SBY lengah dalam menjamin kebebasan sipil dan politik, serta pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, selama masa 2004-2009.
“Dalam periode itu malah timbul UU yang tidak kondusif terhadap penegakan HAM. Misalnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Pornografi, UU Mineral dan Batu Bara, UU BHP, dan UU Penanaman modal,” ujarnya Bonar.
Ia menjabarkan, lemahnya jaminan HAM dalam UU ITE sudah terbukti dengan adanya kasus pencemaran nama baik dalam kasus Prita Mulyasari. “Bagaimana mungkin UU ITE ancaman hukumannya bisa lebih tinggi dari KUHP,” kata dia.
Meski demikian, ia menambahkan, terdapat pula peraturan perundang-undangan setingkat UU yang masih kondusif dan sesuai dengan pemajuan serta harmonisasi terhadap Konvensi, Kovenan, dan Deklarasi Internasional tentang HAM.
Yakni, kata dia, UU Pemerintahan Aceh, UU Kewarganegaraan, UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Penanggulangan Bencana, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Ombudsman, dan UU Penghapusan Diskriminasi Rasial.
“Harmonisasi perundang-undangan itu dengan instrumen internasional yang menjadi agenda RAN HAM juga gagal dipenuhi pemerintah,” kata dia. (Sugandi)
Source: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=229245
Semoga informasi ini bisa bermnafaat bagi kawan-kawan dan bisa membuka pikiran untuk jauh lebih baik kedepannya.
Lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan!
Bagaimana menurut anda??? :)
PBNU DUKUNG BLOKIR SITUS PORNO
Sumber:http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=11956
Internet akan Lebih Diterima Pesantren
Sabtu, 22 Maret 2008 12:43
Jakarta, NU Online
Rencana Menkominfo Muhammad Noeh untuk memblokir situs-situs porno di jaringan internet mendapat dukungan penuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kontrol ini akan lebih efektif jika dilakukan oleh pemerintah daripada oleh individu atau fihak swasta.
“Jika ini menjadi kebijakan pemerintah, akan lebih bagus. Kalau diusahakan swasta akan sulit, pornografi sudah menjadi sebuah industri,” tutur Wakil Rais Aam PBNU KH Tolhah Hasan kepada NU Online, Sarbu (22/3).
Dikatakannya, banyak fihak yang sudah terkait dalam jaringan industri pornografi. Terdapat fihak yang menyediakan modal, memproduksi berbagai macam model pornofrafi yang disukai, jaringan pemasaran.
“Yang lebih menyedihkan, konsumennya tidak sedikit. Ada yang bengok-bengok anti pornografi, tapi diam-diam menjadi konsumen. Kalau masyarakat sendiri yang harus bertindak, akan sulit,” ujarnya.
Mantan Menteri Agama ini menuturkan, sebelumnya dengan mengatasnamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia pernah meneumui beberapa pimpinan media massa, untuk menghilangkan kontens pornografi di dalam media, namun ternyata upaya ini sulit dilakukan.
Jika situs porno benar-benar diblokir, lingkungan pesantren yang selama ini memiliki stigma negative terhadap internet akan lebih mudah menerima karena kekhawatiran dampak negatifnya terhadap para santri sudah bisa diantisipasi.
“Internet akan diterima lingkungan pesantren karena manfaatnya lebih besar. Bisa menjadi sumber informasi keilmuan, perkembangan macem-macem. Pesantren harus memanfaatkannya secara maksimal,” tandasnya.
Mantan Rektor Unisma Malam ini berharap agar langkah pemblokiran situs porno ini bisa berlanjut pada tahap berikutnya untuk mengontrol pornografi dalam bentuk bentuk lain seperti di TV, media massa, atau VCD/DVD bajakan yang peredarannya tanpa kontrol.
PBNU juga sudah menjalankan upaya pemblokiran ini. Jaringan intenet yang ada di Gd PBNU sudah bebas dari situs porno karena sudah diblokir di servernya yang menyatu dengan kantor NU Online. (mkf)
Internet akan Lebih Diterima Pesantren
Sabtu, 22 Maret 2008 12:43
Jakarta, NU Online
Rencana Menkominfo Muhammad Noeh untuk memblokir situs-situs porno di jaringan internet mendapat dukungan penuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kontrol ini akan lebih efektif jika dilakukan oleh pemerintah daripada oleh individu atau fihak swasta.
“Jika ini menjadi kebijakan pemerintah, akan lebih bagus. Kalau diusahakan swasta akan sulit, pornografi sudah menjadi sebuah industri,” tutur Wakil Rais Aam PBNU KH Tolhah Hasan kepada NU Online, Sarbu (22/3).
Dikatakannya, banyak fihak yang sudah terkait dalam jaringan industri pornografi. Terdapat fihak yang menyediakan modal, memproduksi berbagai macam model pornofrafi yang disukai, jaringan pemasaran.
“Yang lebih menyedihkan, konsumennya tidak sedikit. Ada yang bengok-bengok anti pornografi, tapi diam-diam menjadi konsumen. Kalau masyarakat sendiri yang harus bertindak, akan sulit,” ujarnya.
Mantan Menteri Agama ini menuturkan, sebelumnya dengan mengatasnamakan Majelis Ulama Indonesia (MUI), ia pernah meneumui beberapa pimpinan media massa, untuk menghilangkan kontens pornografi di dalam media, namun ternyata upaya ini sulit dilakukan.
Jika situs porno benar-benar diblokir, lingkungan pesantren yang selama ini memiliki stigma negative terhadap internet akan lebih mudah menerima karena kekhawatiran dampak negatifnya terhadap para santri sudah bisa diantisipasi.
“Internet akan diterima lingkungan pesantren karena manfaatnya lebih besar. Bisa menjadi sumber informasi keilmuan, perkembangan macem-macem. Pesantren harus memanfaatkannya secara maksimal,” tandasnya.
Mantan Rektor Unisma Malam ini berharap agar langkah pemblokiran situs porno ini bisa berlanjut pada tahap berikutnya untuk mengontrol pornografi dalam bentuk bentuk lain seperti di TV, media massa, atau VCD/DVD bajakan yang peredarannya tanpa kontrol.
PBNU juga sudah menjalankan upaya pemblokiran ini. Jaringan intenet yang ada di Gd PBNU sudah bebas dari situs porno karena sudah diblokir di servernya yang menyatu dengan kantor NU Online. (mkf)
MEMPRIHATINKAN! 27 PERSEN ANAK DI JAKARTA PERNAH MEMBUKA SITUS PORNO
Sumber:http://bundaananda.blogspot.com/2010/06/situs-porno.html
Diera millennium ini, internet bukan lagi barang yang aneh. Bukan hanya mahasiswa dan pekerja kantoran, murid-murid SD hingga SMU pun sering memanfaatkan teknologi ini untuk mengerjakan tugas. Sayang, selain hal-hal positif, internet juga memuat informasi-informasi negative, seperti gambar dan cerita erotis. Gawatnya, situs-situs porno tersebut mulai digemari anak-anak di bawah umur. Bahkan menurut survey terbatas salah satu lembaga pemerhati internet, 27% anak pernah membuka situs porno. Bukan jumlah besar, tetapi cukup signifikan.
Adi, sisiwa sekolah lanjutan tingkat pertama sebuah sekolah di Jakarta, nampak asyik menatap layar computer. Sesekali ia melirik kanan kiri memperhatikan situasi warung internet (warnet) yang agak penuh. Ketika melihat tak ada orang memperhatikan, ia kembali sibuk memelototi layar. Senyum simpul kadang menghiasi wajahnya yang sangat polos. Tak lama kemudian datang 2 temannya dan langsung ikut menatap layar computer. Sama halnya dengan Adi, dua rekannya yang baru datang juga seolah terbius dengan pemandangan di depan mata mereka. Saking asyiknya, ketiga bocah di bawah umur itu tidak merasa telah 2 jam mereka disitu.
Ketika menyadari hari sudah semakin sore, barulah ketiganya buru-buru membereskan barang, membayar harga sewa dan langsung pulang kerumah. Sekilas orang akan mengira Adi dan 2 temannya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah dengan bantuan internet. Tetapi perkiraan itu meleset. Mereka bukan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan sekolah malinkan aktif memandangi tubuh-tubuh wanita seksi.
Jangan heran, jangan bingung. Saat ini memang banyak anak dibawah usia mulai gemar membuka situs porno. Bahkan sebuah lembaga pemerhati internet, jejak kaki internet protection, pernah melakukan survey tentan fenomena tersebut. Hasilnya 27% anak di Jakarta pernah membuka situs porno. Bukan tidak mungkin angka itu akan merangkak naik. Pasalnya menurut survey yang sama 97% anak yang menjadi responden mengetahui mereka bisa mendapatkan hal-hal berbau pornografi di internet. Dari jumlah tersebut, 67% diantaranya mengatakan akan membuka situs porno jika ada kesempatan. “Ini merupakan salah satu indikasi pornografi semakin mengancam. Apalagi internet kini sudah semakin mudah diakses. Semenntara lewat internet inilah informasi berbau pornografi bebas didapat,” tutur Managing Direktur Jejak Kaki Internet Protection, William Budhy Kurniawan.
Pria kelahiran Surakarta 16 Nopember 1972 ini menyarankan agar orang tua tidak tinggal diam. Salah satu cara yang menurutnya bisa dilakukan oleh orangtua, memberikan penyaring situs-situs porno seperti internet protection. Tindakan preventif lainnya dengan tidak menempatkan computer atau laptop yang bisa mengakses internet di kamar anak-anak. “Selain orang tua, sebenarnya pemerintah bisa saja bekerja sama dengan APJII (Asoisiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia) untuk menyaring masuknya situs porni ke Indonesia. Cina saja bisa memaksa google (salah satu pencari informasi di internet) manyaring situr berbau politik, dan sangat represif dengan situs porno local. Jika orang tua mau lebih tahu banyak tentang bahaya internet bisa mengakses di situs www.jejakkaki.com. “ajak William tanpa bermaksud promosi.
Tanggung jawab bersama
Pengamat telekomunikasi asal Yogyakarta, Roy /suryo setuju dengan fakta yang dipaparkan Jejak Kaki Internet. “Saya tidak tahu angka persisnya. Tetapi saya yakin banyak anak yang sering melihat situs porno di internet. Pada dasarnya ada kecenderungan orang, baik itu orang dewasa maupun anak-anak, mengakses situs porno, “ujar Roy.
Namun berharap agar masyarakat, termasuk orang tua dan sekolah, tidak fobia terhadap penggunaan internet. Bagaimnapun juga internet memiliki nilai yang sangat positif. Yang perlu dilakukan hanya memasang penyaring internet dan netloger untuk memantau situs yang diakses anak-anak. “Sejak internet masuk ke Indonesia, situs-situs mporno dengan materi gambar dari luar negeri sudah ada. Namun, saat ini pun sudah banyak materi orang-orang local alias orang Indonesia. Ini yang justru dianggap lebih menarik bagi masyarakat kita. Untuk itu filter situs porno sangat penting. Contoh situs yang memberikan software gratis ataupun bayar adalah www.cybersurf.com, www.netnanny.com, dan masih banyak situs lainnya, " terang pria yang memiliki nama lengkap Roy Suryo Notodiprojo ini.
Kendala lainnya, lanjut Roy, banyak orangtua ataupun guru tidak mengerti masalah penggunaan internet. Mereka cenderung malu untuk belajar jika ada anak-anak. Buntutnya, para orangtua dan guru ini tak bisa mengikuti perkembangan teknologi. “Bila hal itu sampai terjadi, akhirnya anak-anak akan belajar hal-hal yang negative dari tempat lain, “tambahnya.
Senada dengan Roy Suryo, psikolog dari Universitas Indonesia, Indri Savitri, S,Psi juga menganggap peran orangtua dan sekolah sangat besar dalam meredam dampat negative internet. Kebiasaan atau kesenangan anak melihat situs porno tidak bisa begitu saja dianggap kesalahan si anak. “Sudahkah orangtua menanamkan nilai-nilai keterbukaan atau komunikasi? Lalu, apakah orangtua sudah mejelaskan manfaat internet pada anak? Hal-hal ini harus diperhatikan,”ujar Indri Savitri,S Psi.
Menurut psikolog dari Lembaga Terapan UI ada banyak faktor yang mendorong seorang anak membuka situs porno. Pertama adanya rasa ingin tahu yang memicu penasaran. Lalu faktor adanya perasaan hebat jika menjadi narasumber bagi teman-temannya yang tidak tahu. “Ini bahaya karena anak merasa mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari lingkungan dengan cara yang salah,” pesan Indri Savitri, S, Psi. Ajakan teman sebaya yang telah kecanduan juga bisa menjadi faktor pemicu anak membuka situs porno. Begitu juga dengan munculnya dorongan seks. “Situs porno dijadikan media pemuasan seks. Dengan melihat gambar-gambar erotis di internet, si anak terdorong melakukan masturbasi dan mendapatkan kepuasan seksual,”paparnya.
Picu kelainan seksual pada anak
Mengapa situs porno harus dijauho anak-anak? Tak lain karena hal tersebut membawa banyak dampak negative bagi perkembangan anak. Demikian disampaikan psikolog Ike Sugianto dalam talkshow bertajuk Dahsyatnya Pengaruh Negatif Internet bagi Anak dan Remaja beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, anak yang senang pornofrafi sejak dini akan cenderung menjadi antisocial, tidak setia, melakukan kekerasan rumah tangga, mempunyai sikap merendahkan wanita, bahkan dapat mengidap kelainan sesual. “Anak dan remaja ada dalam tahap ingin selalu mencoba dancenderung ingin menjadi bas boys. Jika orangtua tak berupaya maksimal, anak bisa kecanduan bahkan berkeinginan untuk meniru, “ucap psikolog dari Klinik Anakku tersebut.
Sebenarnya bahaya internet terhadap anak-anak sudah diprediksi para pakar media maupun komunikasi sejak lama. Demikian pernyataan pakar komunikasi Nina Mutmainah Armando. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada regulasi yang jelas mengenai maslah ini. Sekedar informasi Nina menceritakan di Kanada pernah ada penelitian serupa. Hasilnya 10 dari 11 anak menerima pesan berbau porno setiap mereka mengakses internet. Banyak yang bilang internet tidak bisa dikontrol dan sisensor. Padahal jika ada kebijakan yang mengatur secara jelas hal itu bisa saja dilakukan, imbuh Nina. Seperti William dari Jejak Kaki Internet Protection, ia pun menyebut Cina sebagai salah satu Negara yang bisa memblokir hal-hal berbau politik di internet.
Dari pada menunggu adanya kebijakan tersebut, Nina menganjurkan orang tua melakukan pencegahan sedini mungkin. Salah satunya dengan tidak meletakkan computer diruang pribadi. “Sebaiknya letakkan computer di tempat yang mudah terlihat sehingga anak tidak bisa seenaknya membuka situs-situs porno,” jelas Nina. Selain itu, orang tua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Jangalah bersikap terlalu keras atau otoriter. “Namanya juga anak yang baru memasuki masa puber. Pasti mereka ingin tahu segala sesuatu, apalagi hal yang berbau seks,” ujar ibu dua anak ini.
“BENTENGI ANAK DENGAN ILMU AGAMA”
Islam mencintai kemajuan di segala bidang, termasuk teknologi. Namun, Islam membenci kemaksiatan yang timbul dari kemajuan teknologi. Menurut Ustadz Idris, orangtua harus memberikan jawaban menyeluruh atas keingintahuan anak terhadap hal-hal yang berbau seksual, apalagi bila si anak belum aqilbaliq atau dewasa. Naumn, saat menyampaikan hal tersebut, perhatikan usia anak yang bersangkutan.
“Ali bin Abi Thalib dan Imam Ghazali membagi pendidikan anak dalam 3 periode.
Periode tujuh tahun pertam, anak diposisikan sebagai raja. Maksudnya, biarkan ia bermain apa saja selama tidak membahayakan. Berantakan sedikit bukanlah masalah, karena dengan begitu dia dapat mengasah kreativitas.
Periode tujuh tahun kedua ( 7-14 tahun), waktunya memberikan disiplin ketat pada anak. Kita harus memosisikan anak secara integral, bukan hanya mendengarkan instruksi-instruksi orangtua saja. Tetapi harus disadari anak juga memiliki keinginan dan hak-hak yang harus dihargai. Sedangkan periode tujuh tahun ketiga (usia 14-12 tahun), bermitralah dengan mereka. Jangan memposisikan orangtua sebagai penguasa, tetapi sebagai teman. Dengan bersikap terbuka pada anak, maka anak pun akan melakukan hal yang sama urainya.
Sedangkan mengenai situs porno, dengan tegas Ustadz Idris mengatakan melihat aurat orang lain adalah perbuatan dilarang agama. “Seperti dinyatakan dalam Al-Quran suara An-Nur 30-31. “ Katakanlah pada orang-orang yang beriman dari laki-laki supaya memelihara pandangan mereka. Juga katakana kepada orang mukmin yang wanita, peliharalah juga pandangan mereka,” kutipnya. Sebagai penutup, Ustadz Idris mengingatkan agar setiap orangtua mengajari anak-anaknya untuk lebih dekat dengan Allah, agar anak-anak mengetahui batasan-batasan dalam setiap tindakan mereka.
Diera millennium ini, internet bukan lagi barang yang aneh. Bukan hanya mahasiswa dan pekerja kantoran, murid-murid SD hingga SMU pun sering memanfaatkan teknologi ini untuk mengerjakan tugas. Sayang, selain hal-hal positif, internet juga memuat informasi-informasi negative, seperti gambar dan cerita erotis. Gawatnya, situs-situs porno tersebut mulai digemari anak-anak di bawah umur. Bahkan menurut survey terbatas salah satu lembaga pemerhati internet, 27% anak pernah membuka situs porno. Bukan jumlah besar, tetapi cukup signifikan.
Adi, sisiwa sekolah lanjutan tingkat pertama sebuah sekolah di Jakarta, nampak asyik menatap layar computer. Sesekali ia melirik kanan kiri memperhatikan situasi warung internet (warnet) yang agak penuh. Ketika melihat tak ada orang memperhatikan, ia kembali sibuk memelototi layar. Senyum simpul kadang menghiasi wajahnya yang sangat polos. Tak lama kemudian datang 2 temannya dan langsung ikut menatap layar computer. Sama halnya dengan Adi, dua rekannya yang baru datang juga seolah terbius dengan pemandangan di depan mata mereka. Saking asyiknya, ketiga bocah di bawah umur itu tidak merasa telah 2 jam mereka disitu.
Ketika menyadari hari sudah semakin sore, barulah ketiganya buru-buru membereskan barang, membayar harga sewa dan langsung pulang kerumah. Sekilas orang akan mengira Adi dan 2 temannya sedang sibuk mengerjakan tugas sekolah dengan bantuan internet. Tetapi perkiraan itu meleset. Mereka bukan sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan sekolah malinkan aktif memandangi tubuh-tubuh wanita seksi.
Jangan heran, jangan bingung. Saat ini memang banyak anak dibawah usia mulai gemar membuka situs porno. Bahkan sebuah lembaga pemerhati internet, jejak kaki internet protection, pernah melakukan survey tentan fenomena tersebut. Hasilnya 27% anak di Jakarta pernah membuka situs porno. Bukan tidak mungkin angka itu akan merangkak naik. Pasalnya menurut survey yang sama 97% anak yang menjadi responden mengetahui mereka bisa mendapatkan hal-hal berbau pornografi di internet. Dari jumlah tersebut, 67% diantaranya mengatakan akan membuka situs porno jika ada kesempatan. “Ini merupakan salah satu indikasi pornografi semakin mengancam. Apalagi internet kini sudah semakin mudah diakses. Semenntara lewat internet inilah informasi berbau pornografi bebas didapat,” tutur Managing Direktur Jejak Kaki Internet Protection, William Budhy Kurniawan.
Pria kelahiran Surakarta 16 Nopember 1972 ini menyarankan agar orang tua tidak tinggal diam. Salah satu cara yang menurutnya bisa dilakukan oleh orangtua, memberikan penyaring situs-situs porno seperti internet protection. Tindakan preventif lainnya dengan tidak menempatkan computer atau laptop yang bisa mengakses internet di kamar anak-anak. “Selain orang tua, sebenarnya pemerintah bisa saja bekerja sama dengan APJII (Asoisiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia) untuk menyaring masuknya situs porni ke Indonesia. Cina saja bisa memaksa google (salah satu pencari informasi di internet) manyaring situr berbau politik, dan sangat represif dengan situs porno local. Jika orang tua mau lebih tahu banyak tentang bahaya internet bisa mengakses di situs www.jejakkaki.com. “ajak William tanpa bermaksud promosi.
Tanggung jawab bersama
Pengamat telekomunikasi asal Yogyakarta, Roy /suryo setuju dengan fakta yang dipaparkan Jejak Kaki Internet. “Saya tidak tahu angka persisnya. Tetapi saya yakin banyak anak yang sering melihat situs porno di internet. Pada dasarnya ada kecenderungan orang, baik itu orang dewasa maupun anak-anak, mengakses situs porno, “ujar Roy.
Namun berharap agar masyarakat, termasuk orang tua dan sekolah, tidak fobia terhadap penggunaan internet. Bagaimnapun juga internet memiliki nilai yang sangat positif. Yang perlu dilakukan hanya memasang penyaring internet dan netloger untuk memantau situs yang diakses anak-anak. “Sejak internet masuk ke Indonesia, situs-situs mporno dengan materi gambar dari luar negeri sudah ada. Namun, saat ini pun sudah banyak materi orang-orang local alias orang Indonesia. Ini yang justru dianggap lebih menarik bagi masyarakat kita. Untuk itu filter situs porno sangat penting. Contoh situs yang memberikan software gratis ataupun bayar adalah www.cybersurf.com, www.netnanny.com, dan masih banyak situs lainnya, " terang pria yang memiliki nama lengkap Roy Suryo Notodiprojo ini.
Kendala lainnya, lanjut Roy, banyak orangtua ataupun guru tidak mengerti masalah penggunaan internet. Mereka cenderung malu untuk belajar jika ada anak-anak. Buntutnya, para orangtua dan guru ini tak bisa mengikuti perkembangan teknologi. “Bila hal itu sampai terjadi, akhirnya anak-anak akan belajar hal-hal yang negative dari tempat lain, “tambahnya.
Senada dengan Roy Suryo, psikolog dari Universitas Indonesia, Indri Savitri, S,Psi juga menganggap peran orangtua dan sekolah sangat besar dalam meredam dampat negative internet. Kebiasaan atau kesenangan anak melihat situs porno tidak bisa begitu saja dianggap kesalahan si anak. “Sudahkah orangtua menanamkan nilai-nilai keterbukaan atau komunikasi? Lalu, apakah orangtua sudah mejelaskan manfaat internet pada anak? Hal-hal ini harus diperhatikan,”ujar Indri Savitri,S Psi.
Menurut psikolog dari Lembaga Terapan UI ada banyak faktor yang mendorong seorang anak membuka situs porno. Pertama adanya rasa ingin tahu yang memicu penasaran. Lalu faktor adanya perasaan hebat jika menjadi narasumber bagi teman-temannya yang tidak tahu. “Ini bahaya karena anak merasa mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari lingkungan dengan cara yang salah,” pesan Indri Savitri, S, Psi. Ajakan teman sebaya yang telah kecanduan juga bisa menjadi faktor pemicu anak membuka situs porno. Begitu juga dengan munculnya dorongan seks. “Situs porno dijadikan media pemuasan seks. Dengan melihat gambar-gambar erotis di internet, si anak terdorong melakukan masturbasi dan mendapatkan kepuasan seksual,”paparnya.
Picu kelainan seksual pada anak
Mengapa situs porno harus dijauho anak-anak? Tak lain karena hal tersebut membawa banyak dampak negative bagi perkembangan anak. Demikian disampaikan psikolog Ike Sugianto dalam talkshow bertajuk Dahsyatnya Pengaruh Negatif Internet bagi Anak dan Remaja beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, anak yang senang pornofrafi sejak dini akan cenderung menjadi antisocial, tidak setia, melakukan kekerasan rumah tangga, mempunyai sikap merendahkan wanita, bahkan dapat mengidap kelainan sesual. “Anak dan remaja ada dalam tahap ingin selalu mencoba dancenderung ingin menjadi bas boys. Jika orangtua tak berupaya maksimal, anak bisa kecanduan bahkan berkeinginan untuk meniru, “ucap psikolog dari Klinik Anakku tersebut.
Sebenarnya bahaya internet terhadap anak-anak sudah diprediksi para pakar media maupun komunikasi sejak lama. Demikian pernyataan pakar komunikasi Nina Mutmainah Armando. Namun sayangnya hingga saat ini belum ada regulasi yang jelas mengenai maslah ini. Sekedar informasi Nina menceritakan di Kanada pernah ada penelitian serupa. Hasilnya 10 dari 11 anak menerima pesan berbau porno setiap mereka mengakses internet. Banyak yang bilang internet tidak bisa dikontrol dan sisensor. Padahal jika ada kebijakan yang mengatur secara jelas hal itu bisa saja dilakukan, imbuh Nina. Seperti William dari Jejak Kaki Internet Protection, ia pun menyebut Cina sebagai salah satu Negara yang bisa memblokir hal-hal berbau politik di internet.
Dari pada menunggu adanya kebijakan tersebut, Nina menganjurkan orang tua melakukan pencegahan sedini mungkin. Salah satunya dengan tidak meletakkan computer diruang pribadi. “Sebaiknya letakkan computer di tempat yang mudah terlihat sehingga anak tidak bisa seenaknya membuka situs-situs porno,” jelas Nina. Selain itu, orang tua perlu menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Jangalah bersikap terlalu keras atau otoriter. “Namanya juga anak yang baru memasuki masa puber. Pasti mereka ingin tahu segala sesuatu, apalagi hal yang berbau seks,” ujar ibu dua anak ini.
“BENTENGI ANAK DENGAN ILMU AGAMA”
Islam mencintai kemajuan di segala bidang, termasuk teknologi. Namun, Islam membenci kemaksiatan yang timbul dari kemajuan teknologi. Menurut Ustadz Idris, orangtua harus memberikan jawaban menyeluruh atas keingintahuan anak terhadap hal-hal yang berbau seksual, apalagi bila si anak belum aqilbaliq atau dewasa. Naumn, saat menyampaikan hal tersebut, perhatikan usia anak yang bersangkutan.
“Ali bin Abi Thalib dan Imam Ghazali membagi pendidikan anak dalam 3 periode.
Periode tujuh tahun pertam, anak diposisikan sebagai raja. Maksudnya, biarkan ia bermain apa saja selama tidak membahayakan. Berantakan sedikit bukanlah masalah, karena dengan begitu dia dapat mengasah kreativitas.
Periode tujuh tahun kedua ( 7-14 tahun), waktunya memberikan disiplin ketat pada anak. Kita harus memosisikan anak secara integral, bukan hanya mendengarkan instruksi-instruksi orangtua saja. Tetapi harus disadari anak juga memiliki keinginan dan hak-hak yang harus dihargai. Sedangkan periode tujuh tahun ketiga (usia 14-12 tahun), bermitralah dengan mereka. Jangan memposisikan orangtua sebagai penguasa, tetapi sebagai teman. Dengan bersikap terbuka pada anak, maka anak pun akan melakukan hal yang sama urainya.
Sedangkan mengenai situs porno, dengan tegas Ustadz Idris mengatakan melihat aurat orang lain adalah perbuatan dilarang agama. “Seperti dinyatakan dalam Al-Quran suara An-Nur 30-31. “ Katakanlah pada orang-orang yang beriman dari laki-laki supaya memelihara pandangan mereka. Juga katakana kepada orang mukmin yang wanita, peliharalah juga pandangan mereka,” kutipnya. Sebagai penutup, Ustadz Idris mengingatkan agar setiap orangtua mengajari anak-anaknya untuk lebih dekat dengan Allah, agar anak-anak mengetahui batasan-batasan dalam setiap tindakan mereka.
Langganan:
Postingan (Atom)