Sumber:http://sawali.info/2009/11/30/ulang-tahun-ke-2-tpc-dan-martil-uu-ite-sebuah-refleksi/
Monday, 30 November 2009 (16:47) | 289 pembaca | 151 komentar | Print this Article
Apa yang menarik dari serangkaian acara yang digelar oleh TPC (tugupahlawan.com) dalam merayakan HUT-nya yang kedua? Sahabat-sahabat blogger dari berbagai komunitas yang kebetulan hadir di kota pahlawan ini, bisa dipastikan tak begitu gampang melupakan acara kopdar bareng atau Tour de Surabaya City yang digelar panitia. Selain itu, keramahan shohibul bait dalam menyambut setiap tamu yang datang, setidaknya bisa menghapuskan kesan elitisme di kalangan blogger, sehingga serangkaian agenda yang digelar 28-29 November 2009 itu bisa berlangsung lebih cair dan egaliter. Kekompakan awak TPC dalam mendesain acara dan keberhasilannya dalam menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, juga bisa makin membuktikan bahwa posisi blogger makin diperhitungkan dalam beragam aksi di dunia nyata. Kesan bahwa blogger hanya asyik di puncak menara gading dunia maya yang kurang membumi pun bisa ditepisnya.
HUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCHUT TPCDialog interaktif yang mengusung tema “Kebebasan Berekspresi di Dunia Online” pun tak kalah menarik. Mengapa? Tema besar ini diangkat kembali ke permukaan lantaran kelahiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai bisa menjadi ancaman serius buat para blogger dalam berekspresi. Bahkan, suatu ketika bisa menjadi martil yang menghantam para blogger ketika aparat penegak hukum kehilangan fatsoen dan kearifan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Dalam pengantarnya, Mas Budiono, yang didaulat sebagai moderator, langsung membidik kasus yang menimpa Bu Prita Mulyasari –yang menjadi “tumbal” kehadiran UU ITE– sebagai “peluru” dialog. Menurutnya, ketika kasus yang diduga mencemarkan nama baik RS Omni Internasional Tangerang itu mencuat ke permukaan, ada keresahan di kalangan blogger. Mereka jadi takut untuk berekspresi karena ancaman pidana yang ditebarkan oleh UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 yang berkaitan dengan pencemaran nama baik.
Lalu, bagaimana sikap para blogger dalam menghadapi “represi” UU ITE? Haruskah para blogger terus berada dalam situasi tertekan hingga akhirnya tak punya keberanian untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi? Langkah dan trik apa yang perlu dilakukan agar para blogger tetap aman dan nyaman dalam berekspresi di blognya masing-masing? Setidak-tidaknya, itulah beberapa pertanyaan penting yang mengemuka dalam dialog interaktif yang berlangsung di lantai VII Gedung Telkom Margoyoso Surabaya pada hari Sabtu, 28 November 2009 mulai pukul 09.30 s.d. 12.30 WIB itu.
Tak Perlu Takut Berekspresi
Menyikapi lahirnya UU ITE, Wawali Surabaya (Pak Arif Afandi) yang menjadi keynote speaker, menyatakan bahwa para blogger tidak perlu takut terhadap UU ITE. Di hadapan sekitar 250-an penggiat dunia maya, Pak Arif Afandi mengimbau untuk memanfaatkan kebebasan berekspresi dengan penuh rasa tanggung jawab sehingga tak terkena jerat pasal-pasal UU ITE.
Saya yang kebetulan juga didaulat untuk berbicara lebih banyak menyoroti kebebasan berekspresi di dunia maya dari sudut pandang pragmatik. Sambil menunggu perkembangan kemungkinan dilakukannnya uji materiil terhadap UU ITE yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dan pendapat di muka umum, saya menyatakan bahwa sesungguhnya ada atau tidak ada UU ITE, para blogger tidak perlu takut untuk berekspresi, asalkan mempertimbangkan prinsip kerja sama dan kesantunan dalam berekspresi. Prinsip kerja sama menganjurkan kepada setiap penutur untuk memperhatikan empat bidal dalam berekspresi, yakni bidal kuantitatif, kualitatif, relevan, dan cara. Keempat bidal ini menyarankan adanya bukti, fakta, dan argumentasi yang kuat dan meyakinkan dalam setiap tulisan agar para blogger tak gampang dijerat pasal-pasal UU ITE. Sedangkan, prinsip kesantunan menyarankan agar memperhatikan nilai-nilai etika dan moral sehingga pendapat yang disampaikan di muka umum (termasuk di dunia maya) tidak membangkitkan sentimen SARA.
Sementara itu, Mas Donny, BU dari ICT Watch, yang juga didaulat sebagai narasumber membeberkan dampak dan efek yang timbul akibat lahirnya UU ITE secara visual. Melalui gambar slide yang ditayangkan, tampak jelas betapa dahsyatnya ancaman yang ditimbulkan oleh UU ITE itu terhadap kebebasan berekspresi di dunia maya.
Gayung pun bersambut, meski sang moderator mesti berkali-kali membangkitkan “adrenalin” peserta untuk berdialog dengan menawarkan doorprize. Ketika persoalan dan wacana itu dilemparkan Mas Budiono kepada audience, ada beberapa respon yang muncul dari peserta dialog berkaitan dengan kebebasan berekspresi melalui facebook, budaya latah dalam memanfaatkan media virtual, dan batasan tentang unsur pornografi di internet. Namun, keterbatasan waktu agaknya tak memungkinkan diskursus kebebasan berekspresi bisa terbahas tuntas dalam dialog. Tak mengherankan jika diskusi ini berlanjut dalam acara kopdar ramah-tamah yang berlangsung di Wisma Sejahtera, tempat bermalam panitia dan tamu undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar