Sumber:http://kuhpreform.wordpress.com/2008/12/10/uu-ite-tidak-ramah-facebook/
Diterbitkan Desember 10, 2008 Berita Hukum Pidana 1 Comment
Oleh: Amrie Hakim *)
[5/12/08]
“Sesuai UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi & Transaksi Elektronik, maka dengan adanya kesepakatan anda dan saya dengan cara meng-klik menerima [accept] maka segala sesuatu info elektronik yang Anda peroleh baik langsung atau tidak langsung melalui facebook kami, Anda menyetujui bahwa segalanya tidak memiliki pembuktian hukum yang sempurna, namun semata-mata hanya sebagai alat/media untuk membina keakraban belaka.”
Begitu antara lain secuplik catatan milik seorang advokat yang dimuat dalam profilnya di Facebook, situs jejaring sosial yang sedang populer. Disengaja atau tidak, catatan yang dibuat Robaga G. Simajuntak tersebut menjadi semacam pernyataan penyangkalan (disclaimer) dari dia sebagai pengguna Facebook. Catatan kecil tersebut cukup menarik untuk dicermati karena menggambarkan ekspresi salah satu pengguna internet terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang relatif baru.
Melalui artikel ini kita akan sedikit mencari tahu pengaturan yang mana dan seperti apa dalam UU ITE yang mendorong pengguna internet, sekalipun untuk keperluan hiburan, menjadi (perlu) makin berhati-hati? Apakah antisipasi seperti di atas perlu juga dilakukan oleh pengguna internet lainnya di Indonesia guna terhindar dari potensi jeratan hukum?
Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian diundangkan 21 April 2008 silam, UU ITE sudah disambut pro dan kontra. Dukungan dan penolakan UU ITE juga disuarakan oleh publik, terutama para blogger Indonesia. Suara yang mendukung UU ITE mengatakan kurang lebih bahwa undang-undang tersebut merupakan gebrakan dalam hukum Indonesia. Undang-Undang ITE dilihat sebagai produk hukum yang cukup berani untuk mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Demikian antara lain pendapat Robaga G. Simanjuntak, advokat-blogger.
Sementara, mereka yang menolak UU ITE pada umumnya keberatan dengan sebagian substansinya yang dinilai berpotensi mengancam hak kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Karena itu advokat-blogger lainnya, Anggara, dalam salah artikelnya menyatakan di antaranya “UU ITE jelas merupakan ancaman serius bagi blogger Indonesia”.
Di mata Anggara, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa blogger di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan dan/atau pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)], dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28 ayat (2)].
Tentang “..membuat dapat diaksesnya..”
Lepas dari berbagai pendapat di atas, substansi tertentu di dalam UU ITE boleh jadi memang perlu mendapat perhatian serius dari para pengguna internet pada umumnya, tidak hanya blogger. Khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Ada tiga unsur yang dikandung Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu (1) unsur setiap orang; (2) unsur dengan segaja dan tanpa hak; serta (3) unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diketahui bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas. Bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya. Walaupun di sisi lain, dalam UU ITE juga dinyatakan bahwa suatu informasi/dokumen elektronik tidak dengan serta-merta atau otomatis akan menjadi suatu bukti yang sah. Pasalnya, untuk menentukan apakah informasi/dokumen eletronik dapat menjadi alat bukti yang sah masih memerlukan suatu prosedur tertentu yaitu harus melalui ”sistem elektronik” yang diatur berdasarkan undang-undang tersebut.
Sampai di sini, jelas terbaca bahwa UU ITE meletakkan beban pembuktian pada pihak yang (diduga) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sekalipun, informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (termasuk di dalamnya informasi berupa taut ke satu atau lebih situs lain) yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik tersebut bersumber bukan dari pengelola/pemilik blog/situs web yang bersangkutan, atau bahwa informasi tersebut bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain.
Layanan komputer yang sifatnya interaktif
Secara sederhana dapat dikatakan, UU ITE tidak peduli apakah sebuah informasi elektronik yang bermuatan penghinaan yang ”dapat diakses” pada sebuah situs web atau blog itu bersumber atau dibuat oleh pemilik atau pengelola situs web atau blog yang bersangkutan. Selain itu, UU ITE juga tidak membeda-bedakan antara penyedia/pengguna layanan komputer (yang sifatnya) interaktif (seperti halnya Facebook, blog serta situs web interaktif sejenis) dengan yang non-interaktif (satu arah).
Dengan demikian, di bawah rezim UU ITE, seorang tersangka/terdakwa kelak harus membuktikan, misalnya, bahwa ia tidak mengetahui bahwa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat di situs web atau blognya mengandung konten penghinaan atau pencemaran nama baik. Atau bahwa konten yang diduga melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu merupakan informasi yang bersumber dari atau dibuat oleh pihak lain ke dalam situs web/blog yang bersangkutan. Hal yang sama juga dianut peraturan perundang-undangan sejenis di Inggris, Australia dan Selandia Baru.
Namun, hal demikian tidak terjadi di Amerika Serikat. Section 230 Communications Decency Act memberikan kekebalan hukum (immunity) bagi penyedia ataupun pengguna “layanan komputer interaktif” (interactive computer service) yang menyiarkan informasi yang disiarkan/dibuat oleh pihak lain: “No provider or user of an interactive computer service shall be treated as the publisher or speaker of any information provided by another information content provider.”
Kasus MySpace
Dalam Wikipedia diuraikan bahwa sebelum menentukan apakah kekebalan dalam ketentuan Section 230 dapat diterapkan, pada umumnya pengadilan menguji tiga unsur yang terdapat dalam ketentuan tersebut. Terdakwa harus setiap unsur berikut untuk dapat memperoleh kekebalan: (1) Tergugat harus merupakan “penyedia atau pengguna” dari suatu “layanan komputer interaktif”; (2) Sebab dari perbuatan yang dipersoalkan oleh penggugat harus “memperlakukan” tergugat “sebagai penyiar atau pembicara” dari informasi ofensif tersebut; dan (3) Informasi terkait harus “disediakan oleh penyedia konten informasi lainnya”, misalnya tergugat harus bukan merupakan “penyedia konten informasi” dari informasi ofensif tersebut.
Salah satu kasus terkenal seputar kekebalan hukum yang dipayungi Section 230 adalah Doe v. MySpace, 474 F.Supp.2d 843 (W.D. Tex. Feb. 13, 2007). Dalam kasus tersebut MySpace, sebuah situs jejaring sosial sejenis Facebook, dinyatakan bebas dari pertanggungjawaban hukum melakukan kelalaian dan kelalaian berat karena gagal membuat langkah-langkah keselamatan untuk mencegah serangan seksual terhadap anak di bawah umur dan kegagalan untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan verifikasi usia.
Perbandingan dengan ketentuan Section 230 Communications Decency Act milik AS seperti di atas boleh jadi cukup relevan untuk disampaikan dalam artikel ini. Pasalnya, sejak era Web 2.0 yang dimulai kurang lebih empat tahun silam, hampir seluruh layanan internet yang ada disajikan secara/dengan fitur interaktif. Pengguna internet tidak hanya berhenti sebagai pembaca sebuah konten informasi dalam sebuah situs web/blog, tapi juga ikut membuat/menambah informasi yang disajikan/dibuat oleh penyedia layanan internet. Oleh karena itu, patut dipertanyakan mengapa para penyusun UU ITE tidak mengakomodasi tren di atas ke dalam muatan undang-undang itu.
Meski begitu, UU ITE sejauh ini berhasil menancapkan rasa kehati-hatian kepada para pengguna internet dalam arti yang sangat luas (mencakup pula para penyedia layanan internet tanpa kecuali). Apalagi, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU ITE keberlakuan undang-undang tersebut menjangkau warga Indonesia dan warga asing yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar yurisdiksi (jurisdiction) hukum nasional (kekebalan yang diperoleh MySpace bisa tidak berlaku di hadapan UU ITE).
Pasca diundangkannya UU ITE para pengguna internet sepertinya makin menyadari pentingnya membuat pernyataan penyangkalan situs web/blog atau layanan internet lainnya yang mereka kelola, sebagai bagian dari rasa kehati-hatian itu. Sejauh ini belum dapat dibuktikan apakah atau sejauh mana sebuah pernyataan penyangkalan dapat membebaskan seseorang dari jerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas. Padahal, ancaman hukuman atas pelanggaran pasal tersebut sangat serius yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Tidak peduli, kita menggunakan internet untuk hal yang serius atau sekadar, katakanlah, ber-Facebook ria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar